AI Content & UGC Makin Diminati: Dibalik Dominasi Video Pendek & Isi Otomatis”
AI Content & UGC Makin Diminati: Dibalik Dominasi Video Pendek & Isi Otomatis”--screenshot dari web.
Radarmukomukobacakoran.com - Di tengah arus deras digitalisasi, konten tidak lagi bergantung pada agensi besar atau figur publik ternama. Tahun 2025 menjadi penanda transisi besar di dunia pemasaran digital, di mana konten buatan pengguna (User Generated Content/UGC) dan materi berbasis kecerdasan buatan (AI) mengambil alih panggung utama. Tidak hanya digemari karena efisiensi dan keterjangkauannya, keduanya mencerminkan pergeseran besar dalam cara audiens mengonsumsi, berinteraksi, dan mempercayai informasi visual serta naratif yang berseliweran di feed harian mereka.
Popularitas video pendek yang awalnya dipicu oleh TikTok kini merambah ke platform seperti Instagram Reels, YouTube Shorts, hingga Pinterest Video Pins. Namun, yang membedakan tren tahun ini adalah siapa yang memproduksinya: bukan brand besar, melainkan kreator rumahan dan sistem otomatis berbasis AI. Semakin banyak brand memilih untuk bekerja sama dengan micro-influencer yang membuat konten organik, otentik, dan terasa “dekat”—dibandingkan dengan strategi kampanye mahal yang terkesan terlalu dikurasi.
Peran AI juga ikut mendobrak batas kreatif. Berbagai platform kini mempermudah pengguna menghasilkan konten dalam hitungan menit—dari narasi video, caption, hingga desain visual, semua bisa disusun otomatis dengan alat berbasis machine learning. Aplikasi seperti CapCut, Canva, dan Runway ML memungkinkan siapa saja mengedit video seperti profesional. Bahkan untuk sektor bisnis, AI kini digunakan untuk menyesuaikan iklan dengan gaya komunikasi lokal, menciptakan pengalaman yang terasa sangat personal bagi target audiens.
Alasan di balik maraknya UGC dan AI content bukan sekadar karena biaya rendah, tetapi juga karena tingkat keterlibatannya tinggi. Penelitian terbaru dari HubSpot menunjukkan bahwa video buatan pengguna mendapatkan 2,4 kali lebih banyak komentar dan 1,8 kali lebih banyak dibagikan dibandingkan iklan profesional. Sementara konten AI yang relevan secara emosional, seperti simulasi suara tokoh atau ilustrasi otomatis berdasarkan narasi, menciptakan pengalaman interaktif yang memikat.
Dari sisi pengguna, ini membuka peluang kreatif yang lebih inklusif. Gen Z dan generasi Alpha tak lagi menunggu persetujuan industri untuk menunjukkan karya mereka. Mereka menciptakan avatar digital, mengisi suara dengan AI voice-clone, bahkan membuat serial pendek dalam format vertical video hanya bermodal ponsel dan ide segar. Fenomena ini juga merambah ke sektor edukasi, fashion, hingga spiritualitas digital, menciptakan ragam konten yang lebih luas dan merakyat.
BACA JUGA:Virtual Reality Trip: Menjelajah Tempat Wisata Dunia dari Rumah dengan Teknologi AI
Namun di balik semua kepraktisan dan popularitas itu, muncul tantangan etika dan orisinalitas. Keaslian konten menjadi semakin kabur karena batas antara manusia dan mesin terus menyatu. Banyak konten AI yang dibuat seolah oleh manusia, tanpa disclaimer yang jelas, memunculkan pertanyaan tentang transparansi dan tanggung jawab digital. UGC pun tidak lepas dari kontroversi, terutama ketika digunakan ulang oleh brand tanpa izin atau kompensasi yang adil.
Sementara itu, algoritma juga punya peran besar dalam menentukan visibilitas. Platform seperti TikTok atau Instagram kini menyesuaikan kurasi mereka dengan metrik retensi dan interaksi mikro, bukan sekadar jumlah follower. Ini membuat kualitas storytelling dan kecepatan menangkap emosi menjadi jauh lebih penting dibandingkan tampilan visual mewah. Dalam iklim seperti ini, konten yang "sempurna" justru mulai dianggap hambar dan kurang relevan.
Banyak brand besar mulai merespons dengan mendekati tren ini secara hybrid. Mereka memadukan narasi manusia dengan produksi berbasis AI. Misalnya, iklan dilengkapi narasi suara buatan yang dihasilkan dari database pelanggan sendiri, menciptakan rasa personal sekaligus efisien. Di sisi lain, sejumlah perusahaan teknologi juga mulai meluncurkan alat “AI asisten kreatif” yang dapat digunakan langsung oleh pengguna awam untuk menciptakan konten yang terasa profesional, meski dibuat dari ruang tidur.
Indonesia termasuk negara dengan tingkat adopsi UGC tertinggi di Asia Tenggara. Mulai dari review produk kecantikan oleh pelajar, konten edukatif dari petani milenial, hingga AI-generated animation buatan anak muda, semuanya mendapat sambutan positif di media sosial. Hal ini juga didorong oleh budaya kolektif yang kuat serta semangat kolaboratif lintas komunitas. Bahkan beberapa brand lokal mulai merekrut “AI Editor” sebagai bagian dari tim kreatif mereka, sebuah jabatan yang hampir tak terpikirkan beberapa tahun lalu.
Pergeseran ke arah konten AI dan UGC menunjukkan bahwa masa depan pemasaran bukan hanya tentang visual bagus atau bujet besar, melainkan tentang koneksi yang jujur, cerdas, dan cepat. Di dunia serba real-time dan algoritmik, yang paling penting bukan lagi siapa yang membuat, tetapi bagaimana konten itu dirasakan dan diteruskan. Dan dalam medan digital yang terus berubah, keterbukaan untuk bereksperimen jadi kunci bertahan.
Referensi:
HubSpot Research (2025). State of Video Marketing: User vs Brand Content Engagement.
McKinsey & Company (2025). The Rise of AI-Generated Media: Opportunity and Risk.
The Drum (2025). “How AI Is Reshaping Influencer Marketing and UGC at Scale.”
TechCrunch (2025). “From Tools to Creators: The Evolution of AI-Powered Content Platforms.”
Kominfo.go.id (2025). “UGC & Kecerdasan Buatan: Inovasi Digital Anak Muda Indonesia di Era Industri 5.0.”