Sawit, Priuk Nasi dan Nadi Ekonomi Masyarakat Mukomuko yang Tak Pernah Padam

Sawit, Priuk Nasi dan Nadi Ekonomi Masyarakat Mukomuko yang Tak Pernah Padam--screenshot dari web.
KORANRM.ID - Mukomuko, kabupaten yang terletak di pesisir barat Provinsi Bengkulu, bukan sekadar penyangga wilayah barat Sumatra.
Ia adalah benteng kokoh ekonomi rakyat yang ditopang oleh satu komoditas: kelapa sawit.
Tanaman ini bukan hanya tumbuh subur di atas lahan-lahan produktif masyarakat, tetapi juga mengakar dalam kehidupan sosial dan ekonomi warganya.
Sebagian besar rumah tangga di Mukomuko, terutama yang tinggal di kecamatan seperti Teramang Jaya, Air Rami, Penarik, Pondok Suguh dan Lubuk Pinang, menjadikan sawit sebagai sumber utama penghidupan.
Mereka tidak hanya bergantung pada hasil panen, tetapi juga menggantungkan masa depan anak-anak mereka dari hasil jerih payah mengelola kebun sawit, yang luasnya menjadikan Mukomuko sebagai kabupaten dengan lahan sawit terluas di Bengkulu.
Mengutip data yang dirilis Rakyat Bengkulu Online, luas perkebunan sawit di Mukomuko mencapai lebih dari 130.000 hektare.
Angka ini mencakup lahan milik perusahaan dan petani rakyat.
Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen merupakan milik masyarakat.
Fakta ini menegaskan bahwa sawit bukan sekadar komoditas agribisnis, melainkan denyut kehidupan sehari-hari warga.
Salah satu warga Desa Penarik, Sulaiman (45), mengatakan bahwa sejak dua dekade terakhir, sawit telah menjadi penyelamat ekonomi keluarganya. “Dulu kami mengandalkan padi ladang, hasilnya tidak seberapa. Setelah beralih ke sawit, alhamdulillah, anak-anak bisa sekolah sampai kuliah,” tuturnya seperti dikutip dari “Tribun Bengkulu”.
Apa yang dialami Sulaiman juga dirasakan oleh ribuan petani lainnya. Mereka menanam, merawat, dan memanen tandan buah segar (TBS) dengan harapan hasilnya dapat menopang kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Bahkan dalam kondisi ekonomi nasional yang fluktuatif, sawit tetap memberi napas panjang bagi perekonomian lokal.
Namun, di balik geliat ekonomi ini, terdapat dinamika yang tak bisa diabaikan. Harga TBS yang kerap berubah-ubah menjadi tantangan tersendiri.
Dalam beberapa bulan terakhir, petani sawit sempat mengeluhkan turunnya harga beli di tingkat pabrik, meskipun harga CPO (minyak sawit mentah) di pasar global cenderung stabil.
Info yang di lansir Dinas Pertanian Kabupaten Mukomuko, bahwa pihaknya terus memantau harga TBS dan berkoordinasi dengan perusahaan-perusahaan pengolahan agar tidak merugikan petani. “Kita ingin ada keadilan harga. Petani harus mendapatkan harga yang layak sesuai kualitas buah yang mereka hasilkan,” ujarnya.
Komoditas sawit di Mukomuko memang tidak bisa dilepaskan dari peran petani swadaya. Mereka inilah tulang punggung produksi, yang dengan peralatan sederhana tetap mampu menghasilkan buah dengan kualitas bersaing.
Meski demikian, tantangan lain yang mereka hadapi adalah soal akses terhadap bibit unggul dan pupuk yang berkualitas.
Hingga kini sebagian petani masih menggunakan bibit sawit dari sumber tidak jelas, yang berisiko menurunkan produktivitas kebun dalam jangka panjang.
Hal ini menjadi perhatian pemerintah daerah yang kini mendorong program revitalisasi kebun rakyat melalui bantuan bibit bersertifikat dan pelatihan teknis.
Menariknya, sawit di Mukomuko tidak hanya memberi manfaat ekonomi pada level petani. Efek domino dari industri ini merambah ke sektor lain.