Digital Detox Mengapa Rehat dari Media Sosial Bisa Menyelamatkan Fokusmu

Digital Detox Mengapa Rehat dari Media Sosial Bisa Menyelamatkan Fokusmu.--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Di tengah hiruk pikuk notifikasi, scroll tanpa henti, dan banjir informasi setiap detik, banyak orang mulai merasakan dampak tak kasat mata dari penggunaan media sosial yang berlebihan: kelelahan mental, penurunan konsentrasi, hingga perasaan tidak puas terhadap diri sendiri. Fenomena ini memunculkan tren digital detox, yaitu istirahat terencana dari media digital, terutama media sosial, untuk memulihkan kembali fokus, kesehatan mental, dan kualitas hidup secara menyeluruh.
Digital detox bukan sekadar “puasa main Instagram” semata, tetapi bentuk kesadaran bahwa otak manusia memiliki batas dalam menerima rangsangan visual dan emosional. Setiap kali kita membuka platform seperti TikTok, X, atau YouTube Shorts, kita menyerap begitu banyak informasi yang belum tentu dibutuhkan, bahkan sering kali memicu kecemasan, perbandingan sosial, atau rasa tidak cukup. Studi dari University of Pennsylvania (2021) menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hanya 30 menit per hari selama tiga minggu mampu menurunkan tingkat stres dan depresi secara signifikan pada kelompok usia 18–30 tahun.
BACA JUGA:Koar-Koar di Medsos, Farhat Abbas Ciut Saat Denny Sumargo Datangi Rumahnya
BACA JUGA:Viral di Medsos!
Mengapa hal ini bisa terjadi? Media sosial dirancang untuk mencuri perhatian. Setiap swipe atau tap dirancang agar pengguna terus terjebak dalam siklus adiktif dopamine, yaitu hormon yang memberikan sensasi senang setiap kali ada notifikasi masuk, postingan mendapat like, atau video kita dilihat banyak orang. Akibatnya, otak terus berada dalam kondisi siaga dan teralihkan, membuat kita sulit fokus untuk pekerjaan mendalam (deep work) atau aktivitas produktif lainnya.
Digital detox hadir sebagai “reset tombol” bagi otak yang lelah. Saat kita menjauh sementara dari dunia digital, ruang mental menjadi lebih tenang. Waktu luang yang biasanya dihabiskan untuk scrolling bisa diganti dengan kegiatan yang memperkuat koneksi nyata—bertemu keluarga, membaca buku, berjalan tanpa earphone, atau sekadar merenung tanpa distraksi. Fokus pun perlahan kembali, begitu pula dengan kualitas tidur, produktivitas, dan perasaan terhubung dengan realitas.
BACA JUGA:Sebelum terlambat, 5 Rahasia ini jangan Diunggah Di Medsos
Banyak tokoh dunia dan eksekutif teknologi justru rutin melakukan digital detox. Jack Dorsey (mantan CEO Twitter) dikenal sering melakukan meditasi selama sepuluh hari tanpa perangkat digital. Bahkan perusahaan besar seperti Google dan Apple kini menyediakan fitur screen time atau focus mode untuk membantu pengguna lebih sadar akan kebiasaan digital mereka.
Digital detox tidak selalu berarti harus libur total dari internet. Bentuknya bisa sangat fleksibel, seperti:
• Menentukan jam tertentu untuk online, sisanya offline.
• Membuat no-phone zone, seperti kamar tidur atau ruang makan.
• Menghapus aplikasi media sosial sementara dari ponsel.
BACA JUGA:Jaga Netralitas, Camat Minta Kades, BPD, ASN Bijak Bermedsos
• Menjadwalkan offline weekend secara berkala.
• Menggunakan grayscale mode agar tampilan layar tidak menarik secara visual.
Efeknya? Banyak yang melaporkan pikiran lebih jernih, emosi lebih stabil, dan waktu terasa lebih panjang. Fokus kerja meningkat, karena tidak tergoda memeriksa ponsel setiap lima menit. Hubungan antarpribadi pun terasa lebih dalam karena tidak terganggu distraksi digital saat berbicara tatap muka.
Namun tentu saja, tidak semua orang bisa serta-merta berhenti dari media sosial, terutama mereka yang bekerja di bidang digital atau kreatif. Kuncinya adalah kesadaran dan pengaturan. Gunakan media sosial sebagai alat, bukan tempat pelarian. Prioritaskan waktu online untuk hal-hal yang memberi nilai nyata, bukan sekadar hiburan kosong atau pembanding sosial.
Digital detox bukan tren sementara, tapi kebutuhan hidup modern. Dalam dunia yang makin bising, rehat digital bukan kemunduran, tapi langkah cerdas untuk maju. Saat layar dimatikan, kehidupan nyata kembali bersuara.
Referensi:
• Hunt, M. G., Marx, R., Lipson, C., & Young, J. (2021). No More FOMO: Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and Clinical Psychology.
• Newport, C. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. Portfolio/Penguin.
• American Psychological Association. (2022). Digital Media Use and Mental Health.
• Harvard Health Publishing. (2023). “Why a Digital Detox Might Be the Best Thing You Can Do for Your Brain.”