Fashion AI Baju yang Bisa Berubah Warna Lewat Sentuhan, Gimik atau Masa Depan

Fashion AI Baju yang Bisa Berubah Warna Lewat Sentuhan, Gimik atau Masa Depan--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Industri mode global kembali diguncang oleh kemunculan inovasi terbaru: pakaian yang dapat berubah warna hanya dengan sentuhan atau perubahan suhu tubuh, yang dikenal sebagai produk dari teknologi Fashion AI (Artificial Intelligence in Fashion). Ini bukan lagi sekadar fantasi dalam film sci-fi, melainkan sudah diperkenalkan di runway beberapa brand futuristik, bahkan mulai dijajaki dalam skala terbatas oleh startup teknologi mode. Di tengah arus percepatan integrasi AI dalam kehidupan sehari-hari, fenomena ini menghadirkan pertanyaan besar: apakah pakaian pintar ini hanya sensasi sesaat atau cikal bakal revolusi industri fashion?

BACA JUGA:Teknologi Pelacak Mata Eye Tracking Masa Depan Dunia Digital dan Medis

BACA JUGA:Ramadhan di Era Digital Bagaimana Teknologi Membantu Ibadah

Gagasan tentang pakaian adaptif ini berakar dari penggabungan antara textile engineering, teknologi sensorik, dan machine learning. Perusahaan seperti The Unseen, ColorFab dari MIT, dan Google ATAP telah menciptakan prototipe pakaian yang memanfaatkan serat thermochromic, microcapsule pigments, serta sensor responsif terhadap sentuhan. Ketika pemakainya menyentuh area tertentu atau suhu tubuh berubah, warna dan pola kain akan berubah mengikuti program yang tertanam dalam struktur tekstil. Ini bukan sekadar efek visual, melainkan respon nyata yang dikendalikan oleh data, algoritma, dan arsitektur digital mikroskopis yang tertanam di dalam benang.

BACA JUGA:Fenomena ‘Tech-Free Zones’ Apakah Dunia Butuh Area Tanpa Teknologi

Penerapan teknologi seperti ini tentu menarik perhatian industri mode, terutama brand yang ingin tampil sebagai pionir dalam era digital. Peragaan busana oleh brand avant-garde seperti Iris van Herpen, Studio XO, atau bahkan eksperimen dari Nike dan Adidas menunjukkan bahwa estetika masa depan tak hanya sekadar desain, tapi interaktivitas dan personalisasi. Bayangkan baju kerja yang bisa berubah dari warna cerah ke warna gelap saat malam hari, atau pakaian kasual yang bisa menyesuaikan diri dengan suasana hati dan lingkungan sosial pemakainya.

BACA JUGA:Makanan dari Udara Teknologi Canggih yang Mengubah Cara Kita Bertani

Namun di balik euforia futuristik ini, masih muncul skeptisisme dari sebagian kalangan. Banyak yang menganggap teknologi seperti ini belum matang secara teknis, serta belum relevan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat luas. Tantangan terbesarnya adalah daya tahan material, kepraktisan pencucian, keamanan komponen elektronik di dalam serat kain, dan harga produksi yang masih tinggi. Meski perkembangan material pintar (smart textile) terus meningkat, penggunaan massal masih terbatas pada pangsa pasar eksklusif atau kebutuhan khusus seperti militer dan kesehatan.

Dari sisi industri, pengadopsian AI dalam fashion bukan hal baru. Teknologi AI sebelumnya sudah banyak digunakan untuk analisis tren pasar, prediksi stok, desain generatif, hingga personalisasi ukuran konsumen. Namun transformasi ke bentuk fisik yang dapat berubah secara visual dan real time adalah babak baru. Ini berarti AI tidak hanya menjadi alat bantu di balik layar, tapi bagian langsung dari produk yang dipakai konsumen sehari-hari. Hal ini juga mengubah posisi desainer, dari pencipta estetika menjadi perancang sistem yang melibatkan kode, perangkat lunak, dan logika mesin.

Perkembangan ini juga berdampak pada perubahan peran konsumen. Dalam fashion tradisional, konsumen membeli satu desain untuk satu fungsi. Namun dengan baju yang dapat berubah warna dan bentuk, satu item bisa memiliki banyak tampilan berbeda sesuai konteks penggunaannya. Ini membuka kemungkinan baru terhadap konsep keberlanjutan (sustainability) dalam fashion. Alih-alih membeli banyak pakaian, satu pakaian adaptif bisa menggantikan beberapa fungsi sekaligus. Ini sejalan dengan tren slow fashion yang kini mulai menggeliat di kalangan milenial dan Gen Z yang lebih sadar lingkungan.

BACA JUGA:Fenomena ‘Tech-Free Zones’ Apakah Dunia Butuh Area Tanpa Teknologi

Dari segi sosial budaya, pakaian dengan teknologi AI membawa implikasi menarik. Ia memungkinkan ekspresi diri yang lebih dinamis dan kontekstual. Di masa depan, seseorang bisa memakai satu jaket yang menunjukkan suasana hati, afiliasi komunitas, atau bahkan status emosi mereka dalam bentuk visual langsung. Dalam dunia digital yang semakin terhubung, bentuk komunikasi non-verbal seperti ini sangat mungkin menjadi bagian dari gaya hidup masa depan. Terlebih, dengan tren metaverse dan avatar digital, bentuk pakaian fisik yang adaptif menjadi perpanjangan eksistensi virtual seseorang.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa teknologi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan kontrol data. Jika pakaian terhubung dengan perangkat AI dan mengandalkan data biometrik pengguna, maka akan ada aliran data pribadi yang terus dikumpulkan dan dianalisis. Siapa yang menyimpan data tersebut? Untuk tujuan apa? Dan bagaimana data itu diamankan? Hal ini menuntut kehadiran regulasi dan etika baru yang belum sepenuhnya siap diadopsi dalam industri mode yang selama ini lebih berfokus pada estetika daripada aspek teknologi.

Penerapan komersial dari pakaian AI saat ini memang masih terbatas, namun indikasi pasar sudah mulai terlihat. Startup seperti Petit Pli di Inggris telah mengembangkan pakaian anak-anak yang dapat menyesuaikan ukuran mengikuti pertumbuhan anak. Di Jepang, laboratorium seperti Xenoma menciptakan smart shirt yang memantau aktivitas tubuh dan postur untuk kebutuhan medis dan olahraga. Di Cina, pengembangan baju pintar mulai masuk dalam sistem sekolah dan militer. Meskipun belum mencapai tahap fashion harian, namun fungsi dan nilai pakai mulai dieksplorasi lebih jauh.

BACA JUGA:Teknologi Regenerasi Bisakah Kita Memperbaiki Organ Tubuh Layaknya Cicak

Kehadiran media sosial juga memperkuat persebaran tren ini. Konten video pendek yang menampilkan baju yang berubah warna secara magis banyak viral di platform seperti TikTok dan Instagram. Ini menunjukkan bahwa pasar generasi muda memiliki ketertarikan tinggi terhadap bentuk fashion yang bisa tampil spektakuler dan interaktif. Meskipun sebagian dari konten tersebut hanya berupa eksperimen atau efek digital, tetap saja ia mendorong imajinasi publik menuju dunia fashion yang lebih progresif dan terkoneksi.

Sejalan dengan itu, kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci dalam pengembangan Fashion AI. Dunia mode tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan ilmuwan material, insinyur perangkat keras, desainer antarmuka, bahkan psikolog yang memahami bagaimana pengguna berinteraksi dengan pakaian. Universitas-universitas seperti MIT, Stanford, dan Royal College of Art sudah membuka jalur khusus untuk mengeksplorasi smart textile dan fashion technology sebagai bidang studi tersendiri. Ini menunjukkan bahwa perkembangan Fashion AI bukan sekadar tren sesaat, tetapi bagian dari transformasi ilmu dan industri yang lebih luas.

Melihat dari sisi peluang pasar, data dari McKinsey (2024) menunjukkan bahwa industri fashion berbasis teknologi diproyeksikan tumbuh sebesar 15-20% per tahun dalam lima tahun ke depan. Konsumen dari kawasan Asia dan Eropa Timur menjadi yang paling terbuka terhadap inovasi fashion berbasis teknologi, dengan preferensi terhadap barang yang menggabungkan fungsi dan estetika. Ini menjadi sinyal kuat bahwa investasi pada pengembangan produk seperti baju pintar tidak sia-sia, selama tetap memperhatikan aspek kegunaan dan keterjangkauan.

Meski begitu, integrasi Fashion AI ke dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan waktu dan tahap edukasi pasar. Banyak konsumen masih menganggap teknologi ini terlalu rumit atau tidak praktis. Maka, tantangan terbesar bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi bagaimana menciptakan pengalaman pengguna yang sederhana, intuitif, dan tetap stylish. Desainer masa depan dituntut untuk mampu merancang tidak hanya bentuk dan warna, tetapi juga pengalaman dan hubungan emosional antara manusia dan pakaian yang mereka kenakan.

Dalam beberapa tahun ke depan, bisa jadi kita akan melihat kombinasi pakaian yang bisa menyesuaikan suhu, memberi notifikasi ringan, menunjukkan emosi, atau bahkan berkomunikasi dengan perangkat lain. Dalam ekosistem smart city dan IoT (Internet of Things), pakaian seperti ini akan menjadi bagian dari jaringan data yang lebih besar. Maka dari itu, investasi pada teknologi fashion tidak hanya akan memperkaya dunia estetika, tetapi juga menjadi bagian penting dari pengembangan kehidupan urban masa depan.

Perjalanan menuju revolusi fashion yang terintegrasi dengan AI bukan tanpa hambatan. Tapi seperti halnya smartphone dan wearable tech di masa lalu, apa yang dulu dianggap gimik kini menjadi kebutuhan sehari-hari. Jika pengembangan Fashion AI dilakukan secara inklusif, adaptif, dan memperhatikan kebutuhan nyata pengguna, maka pakaian yang bisa berubah warna lewat sentuhan mungkin bukan hanya produk viral, tetapi simbol dari masa depan yang sudah dekat.

________________________________________

Referensi:

1. McKinsey & Company. (2024). The State of Fashion Technology Report.

2. MIT Media Lab. (2023). ColorFab: Digital Fabrication of Color-Changing Textiles.

3. The Guardian. (2024). The Unseen and the Rise of Responsive Fashion.

4. Vogue Business. (2023). Smart Clothing: Next Step or Novelty?

5. Wired. (2024). Fashion AI and the Ethical Future of Wearable Tech.

6. Forbes. (2024). AI-Driven Design: What the Fashion Industry is Learning from Silicon Valley.

7. Business of Fashion. (2023). Digital Fashion and Smart Textiles: A New Era Begins.

8. Nature Materials. (2022). Progress in Thermochromic Pigments and Wearable Sensors.

9. Fast Company. (2023). Why TikTok is Obsessed with Color-Changing Outfits.

10. Royal College of Art. (2023). Fashion Meets Machine: Curriculum in Wearable Futures.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan