Sejarah Iran: Dari Negeri yang Terkucilkan Menjadi Pemain Penting Dunia 

Selasa 01 Jul 2025 - 12:26 WIB
Reporter : Irma
Editor : Ahmad Kartubi
Sejarah Iran: Dari Negeri yang Terkucilkan Menjadi Pemain Penting Dunia  

Koranrm.id - Ketika membicarakan Iran, ingatan banyak orang kerap tertuju pada berita-berita tentang embargo, ketegangan politik, atau sengketa nuklir. 

Namun di balik citra yang sering kali penuh bias itu, tersimpan kisah panjang sebuah bangsa yang tak pernah kehilangan jati diri meski berkali-kali dicoba untuk dikebiri martabatnya. 

Negeri ini bukan sekadar sebidang tanah di Timur Tengah, melainkan warisan dari sebuah peradaban kuno yang telah menorehkan pengaruhnya jauh sebelum peta politik modern terbentuk.

Jauh sebelum dunia mengenalnya sebagai Iran, tanah ini berdiri dengan nama Persia. 

Kekaisaran Persia, yang lahir ribuan tahun sebelum masehi, pernah menjadi simbol kejayaan, tempat lahirnya ilmu pengetahuan, seni, dan tata pemerintahan yang beradab. 

Di era Cyrus Agung dan Darius, Persia dikenal karena toleransinya terhadap budaya lain serta kecanggihan sistem administratifnya. 

Kota-kota seperti Persepolis dan Susa menjadi saksi bisu atas kegemilangan masa itu.

Namun sejarah tak selalu menyajikan kisah manis. Setelah berabad-abad berada di puncak, Persia mengalami pasang surut akibat invasi, kolonialisasi tersembunyi, dan pergolakan internal. 

Puncaknya terjadi pada abad ke-20 ketika Iran menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan Barat dan gejolak nasionalisme di dalam negeri.

Sebuah bab penting dalam perjalanan Iran dimulai pada 1953, ketika Perdana Menteri Mohammad Mossadegh berani mengambil langkah yang dianggap monumental: menasionalisasi industri minyak. 

Langkah itu memicu kemarahan Inggris dan Amerika Serikat. Kedua negara itu, dengan dalih melindungi stabilitas kawasan, mengatur kudeta rahasia yang menggulingkan Mossadegh dan mengembalikan kekuasaan penuh kepada Shah Mohammad Reza Pahlavi. 

Kudeta ini menjadi titik balik yang menggurat luka mendalam dalam relasi Iran dengan Barat.Selama dua dekade berikutnya, Shah memerintah dengan tangan besi. 

Modernisasi digenjot, tetapi jurang ketimpangan makin menganga. Masyarakat pedesaan merasa tercerabut dari akar mereka, sementara elit kota menikmati kemewahan. 

Kebijakan-kebijakan Shah yang berorientasi Barat, ditambah korupsi dan represi, memupuk benih perlawanan. Hingga akhirnya, gelombang Revolusi Islam 1979 mengguncang dunia.

 

Di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, Iran memasuki babak baru sebagai Republik Islam. 

Negara ini mendeklarasikan penolakan terhadap dominasi asing dan menegakkan sistem pemerintahan berbasis hukum syariah. 

Transformasi ini tidak hanya mengubah wajah politik Iran, tetapi juga mengoyak hubungan diplomatik dengan banyak negara. 

Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu dekat Shah, menjadi musuh utama dalam retorika politik Iran.

Iran pun memasuki masa-masa sulit. Isolasi internasional menghantam perekonomian. Embargo perdagangan diberlakukan, dan akses terhadap teknologi serta pasar global tersumbat. 

Ketika perang delapan tahun dengan Irak pecah pada 1980, penderitaan rakyat kian dalam. Kota-kota hancur, jutaan nyawa melayang, dan generasi muda dikorbankan di medan tempur. 

Meski demikian, Iran tak pernah runtuh. Di bawah tekanan perang dan isolasi, negeri ini justru membangun ketahanan nasional yang mengejutkan dunia.

Selepas perang, Iran mencoba bangkit dengan segala keterbatasannya. Pembangunan industri dalam negeri menjadi prioritas. 

Di tengah sanksi dan boikot, para insinyur dan ilmuwan Iran mengembangkan teknologi yang membuat mereka mampu memproduksi sendiri berbagai kebutuhan strategis, mulai dari kendaraan tempur hingga peralatan medis. 

Sementara di bidang energi, Iran terus mengembangkan sektor migas dan energi nuklir untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

BACA JUGA:Iran Balas Serangan Israel Rudal Iran Hancurkan Tel Aviv

Upaya Iran mengembangkan program nuklir memicu ketakutan baru di mata Barat. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutu Eropanya memandang program itu sebagai ancaman potensial. 

Padahal, bagi Iran, teknologi nuklir bukan sekadar proyek strategis, tetapi juga lambang kemandirian dan harga diri nasional. 

Negosiasi, ancaman, sanksi tambahan, hingga perjanjian nuklir (Joint Comprehensive Plan of Action atau JCPOA) yang ditandatangani pada 2015 menjadi rangkaian drama panjang yang memperlihatkan betapa rumitnya hubungan Iran dengan dunia luar.

Di balik dinamika geopolitik tersebut, rakyat Iran terus menjalani kehidupan dengan penuh semangat. Kota-kota seperti Teheran, Isfahan, dan Shiraz tetap menjadi pusat budaya yang memukau. 

Seni, musik, dan sastra berkembang, meski dalam ruang gerak yang terbatas. Kaum muda Iran, yang jumlahnya mencapai lebih dari separuh populasi, menjadi motor penggerak kreativitas. 

Mereka menciptakan karya-karya yang diakui di panggung internasional, mulai dari film-film festival hingga inovasi teknologi.

Iran hari ini adalah potret negeri yang terus mencari jembatan antara tradisi dan modernitas. Meski bayang-bayang sanksi dan isolasi belum sepenuhnya hilang, Iran berhasil memosisikan diri sebagai kekuatan regional yang disegani. 

Peranannya dalam konflik di Suriah, Irak, Yaman, dan Lebanon membuktikan bahwa Iran bukan lagi negara yang bisa dipinggirkan dalam percaturan politik Timur Tengah.

Langkah Iran membuka diri secara perlahan mulai terlihat pada dekade kedua abad ke-21. Meskipun masih sering berbenturan dengan kepentingan Barat, Iran mulai menggandeng negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk memperluas jejaring ekonomi dan politiknya. 

Hubungan dagang dengan Cina, Rusia, India, dan sejumlah negara Afrika menjadi bagian penting dari strategi ini.

Di sisi dalam negeri, Iran juga menghadapi tantangan baru. Generasi muda, yang tumbuh dalam dunia digital dan globalisasi informasi, menuntut lebih banyak kebebasan dan reformasi. 

Pemerintah harus menavigasi desakan ini tanpa kehilangan legitimasi ideologi yang telah menjadi dasar Republik Islam. 

Gerakan protes yang sesekali muncul di berbagai kota menjadi pengingat bahwa sejarah Iran adalah sejarah perjuangan rakyatnya untuk menemukan keadilan dalam setiap zaman.

Transformasi Iran, dari negeri yang dulu dikucilkan menjadi pemain penting dalam politik global, bukanlah perjalanan yang ditempuh dalam semalam. 

Sejarah ini ditulis dengan darah, air mata, dan tekad baja rakyatnya. Iran membuktikan bahwa meski dihimpit sanksi, diancam perang, dan dikucilkan dari pergaulan internasional, sebuah bangsa tetap bisa berdiri tegak jika berpegang pada prinsip harga diri dan kemandirian.

Kini, dunia mulai menyadari bahwa menyudutkan Iran hanya akan memperkuat tekadnya untuk mandiri. Tantangan yang dihadapi negeri ini masih panjang: rekonsiliasi dengan dunia, perbaikan ekonomi dalam negeri, hingga menjembatani jurang antara ideologi dan aspirasi generasi baru. 

Namun sejarah telah menunjukkan, setiap babak kelam dalam perjalanan Iran selalu melahirkan babak baru yang tak kalah heroik.

Iran adalah cerminan sebuah bangsa yang menolak tunduk pada arus dominasi global, sekaligus terus berupaya membangun masa depan di atas puing-puing masa lalunya. 

Sebuah bangsa yang di mata banyak pihak mungkin tampak keras kepala, tetapi sesungguhnya hanya ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi. 

Inilah negeri yang dari reruntuhan kekaisaran kuno hingga republik modern, terus menjadi kisah abadi tentang harga diri dan perjuangan manusia. **

 

Kategori :