Aturan Paskibraka Lepas Jilbab Dinilai Langgar Hak Beragama Dan Tidak Pancasilais
Kepala BPIP, Yudian Wahyudi.--ISTIMEWA
radarmukomukobacakoran.com - Aturan yang mewajibkan anggota Paskibraka putri melepas jilbab saat upacara oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saat pengukuhan dan pengibaran bendera Menuai kritik tajam.
Hal semacam ini tidak boleh dibiarkan, sebab bertentangan dengan hak kebebasan beragama serta tidak pancasilais.
Kontroversi ini mencuat setelah upacara pengukuhan Paskibraka Nasional 2024 oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (13/8/2024).
Publik dikejutkan dengan tidak adanya satu pun anggota Paskibraka putri yang mengenakan jilbab, padahal banyak di antara mereka yang sehari-hari berhijab.
BPIP, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pembinaan Paskibraka, awalnya berdalih bahwa aturan ini sudah ada sejak lama dan bertujuan untuk menjaga keseragaman dalam upacara kenegaraan.
Namun, penjelasan ini tidak memuaskan banyak pihak yang menganggap aturan tersebut sudah tidak relevan dan melanggar hak asasi manusia.
Kritik datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, aktivis HAM, hingga masyarakat umum. Mereka mendesak BPIP untuk segera mencabut aturan tersebut dan meminta maaf kepada anggota Paskibraka putri yang merasa dirugikan.
Menanggapi tekanan publik yang semakin besar, BPIP akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi pada Rabu (14/8/2024). Dalam pernyataannya, BPIP mengakui bahwa aturan tersebut perlu dipertimbangkan kembali dan akan melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Namun, BPIP tetap bersikukuh bahwa aturan tersebut tidak bersifat memaksa dan anggota Paskibraka putri memiliki kebebasan untuk memilih apakah akan melepas jilbab atau tidak.
Pernyataan ini kembali memicu kontroversi, karena banyak pihak yang menilai bahwa adanya aturan tersebut sudah menciptakan tekanan psikologis bagi anggota Paskibraka putri.
Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, juga menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh aturan tersebut. Ia berjanji akan segera melakukan perbaikan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Kontroversi ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan aspek keberagaman dan toleransi dalam setiap kebijakan yang diambil. Aturan yang diskriminatif, meskipun bertujuan baik, tetap tidak dapat dibenarkan dan harus segera dihapuskan.
Ke depan, diharapkan BPIP dan lembaga-lembaga terkait lainnya dapat lebih bijaksana dalam membuat aturan, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dialog dan musyawarah dengan berbagai pihak perlu dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang adil dan tidak merugikan siapa pun.
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya peran masyarakat dalam mengawal kebijakan publik. Kritik dan masukan dari masyarakat harus didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah agar kebijakan yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Artikel Ini Dilansir Dari Berbagai Sumber : cnnindonesia.com dan m.jpnn.com