Bawaslu Ngaku Kesulitan Mencari Bukti dan Saksi Politik Uang Saat Pelaksanaan Pilkada Nanti
Ketua Bawaslu Mukomuko, Teguh Wibowo.--ISTIMEWA
radarmukomuko.bacakoran.co - Tergambar dari pemilu legislatif yang baru saja dilaksanakan beberapa bulan lalu, dugaan money politik terjadi dengan masif.
Tidak tertutup kemungkinan pilkada pemilihan gubernur dan pemilihan bupati yang akan dilaksanakan serentak, termasuk di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu dibayangi oleh aksi politik uang atau money politic juga.
Berdasarkan isu berkembang pada pemilu legislatif lalu, satu orang pemilih dibayar Rp 200 ribu Rp 350 ribu bahkan ada yang Rp 500 ribu.
Kondisi terjadinya praktik money politik ini tidak menutup kemungkinan akan menjalar pada Pilkada pemilihan Gubernur , Wali Kota dan Bupati yang akan datang termasuk Mukomuko.
Dikutip dari radarmukomuko.disway.id Terkait hal ini, Bawaslu Mukomuko tidak menapiknya dan bukan di Mukomuko saja, isu terjadinya money politik ada di berbagai daerah.
Persoalannya pengawas pemilu kesulitan dalam membuktikan, karena harus ada saksi dan bukti yang jelas, tidak bisa hanya sebatas isu dan perkiraan.
Ketua Bawaslu Mukomuko, Teguh Wibowo mengatakan selama pemilu tidak ada laporan dari penerima money politik yang masuk ke Bawaslu.
Alasan warga tidak melapor karena tidak mau menjadi saksi dalam proses penyelidikan terhadap money politik ini.
"Kesulitan kita selama ini tidak ada yang datang melapor dan bersedia menjadi saksi terhadap kasus money politik," katanya.
Lanjutnya, menjadi saksi sebetulnya tidak sulit, jarang saksi yang dipersoalkan, selagi bersedia mengembalikan apa yang ia terima tersebut.
Jika ada yang bersedia pasti akan ditindaklanjuti sampai selesai, karena money politik adalah pelanggaran pemilu.
"Kalau ada yang bersedia menjadi saksi pasti kita mudah menindaklanjutinya bersama Gakumdu," paparnya.
Larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Seperti Pasal 280 ayat (1) huruf j menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.
UU 7/2017 menjelaskan bahwa politik uang tersebut bertujuan agar peserta pemilu tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.
Kemudian, politik uang tersebut bertujuan agar peserta kampanye memilih pasangan calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu, dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu.*