Warga Disini Lebih Memilih Tidur Beralasakan Pasir Daripada Kasur
Warga Disini Lebih Memilih Tidur Beralasakan Pasir Daripada Kasur.--ISTIMEWA
radarmukomuko.bacakoran.co - Kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan khas daerah masing-masing, yang mengandung nilai-nilai budaya yang luhur. Kearifan lokal ini mempengaruhi seluruh elemen kehidupan masyarakat di wilayah tersebut dan berpegang teguh pada kearifan lokal seperti potensi sumber daya manusia, perekonomian, keamanan dan hukum budaya. Hal ini terlihat dari gaya hidup dan pola perilaku masyarakat setempat. Bahwa kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan.
Misalnya saja kearifan lokal Jawa yang tentunya merupakan bagian dari budaya Jawa yang mempunyai sikap hidup tertentu. Berbagai hal dalam kehidupan masyarakat mengirimkan ratusan bahkan ribuan orang bijak setempat. "Manusia Pasir" adalah sebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan unik untuk tidur di atas pasir, yang sebagian besar adalah penduduk pesisir. Desa yang biasa dikenal dengan desa kasur pasir ini mencakup beberapa desa, antara lain Legung Legung Barat di sebelah timur dan Dapenda, Kabupaten Sumenep.
Mereka mengatur berbagai kegiatan tidur, bermain, jual beli, bahkan untuk kebutuhan khusus seperti melahirkan. Rumah warga desa seperti rumah pada umumnya, yang membedakan hanyalah setiap kamar tidur di dalam rumah terdapat kolam pasir berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 2x2 yang digunakan sebagai alas tidur. Mereka menyebutnya kasur pasir. Menurut mereka, pasir sangat bermanfaat terutama untuk kesehatan tubuh, misalnya menghilangkan rasa penat akibat berbaring di atas pasir.
Pasir juga dipercaya dapat meredakan nyeri dan gatal bila digosokkan pada bagian tubuh yang gatal. Sehingga pasir menjadi bagian dari kehidupan mereka dan bagi mereka pasir memiliki arti bukan sekedar hiasan pantai saja, namun menurut mereka pasir itu ibarat tanah dan dari bumi manusia diciptakan dan kembali lagi ke bumi.
Filosofi inilah yang mereka anut saat ini untuk melanjutkan tradisi ini. Asal muasal tradisi tidur di atas pasir konon bermula dari persahabatan dua orang nelayan yang menjadi pionir komunitas nelayan di kawasan tersebut. Pada zaman dahulu kala, ada dua orang nelayan yang terjebak di daerah ini, mereka hidup bersama sebagai sahabat karib, suatu hari mereka bertengkar, sehingga timbullah rasa saling benci dan mereka memandang satu sama lain sebagai musuh. Pertengkaran mereka tak kunjung usai, usaha mereka untuk saling mengalahkan juga sia-sia, mereka kerap berdebat dan adu mulut hingga berebut kekuasaan secara fisik, sambil saling serang tanpa kasat mata dengan cara gaib, yakni menggunakan ilmu hitam dan sihir di antara mereka sendiri.
Karena tak satu pun dari mereka bisa mengalahkan yang lain, mereka akhirnya berdamai dan dihidupkan kembali sebagai teman. Pada suatu saat, mereka saling bercerita tentang pengalaman mereka mencoba mengalahkan lawan satu sama lain. Keduanya terkejut karena ilmu hitam dan sihir yang mereka lancarkan tidak pernah gagal tepat sasaran. Akhirnya mereka beranggapan bahwa keberhasilan mereka menghindari serangan ilmu hitam adalah karena mereka selalu tidur di atas pasir, sehingga ilmu hitam tidak dapat menjangkau mereka, selang beberapa saat mereka bertengkar lagi yang juga melanjutkan permusuhan mereka. mereka pun berusaha untuk saling mengalahkan, karena ketika mereka saling bercerita tentang keselamatan mereka dari serangan musuh, mereka sudah saling mengenal dalam permusuhan oposisi musuh tersebut, sehingga akhirnya salah satu dari mereka memutuskan untuk pergi kepada lawannya. untuk melakukan serangan Ia datang pada malam hari dengan harapan musuhnya sudah tertidur sehingga ia dapat dikalahkan dengan mudah.
Sesampainya di kediaman musuh yang seperti yang diharapkannya sedang tertidur, ia langsung menyerangnya dengan senjata yang telah disiapkannya. Setelah menerima serangan mendadak, musuh dikejutkan. Segera, dia secara spontan mengeluarkan pasir dan melemparkannya ke wajah penyerang, membuatnya tidak berdaya karena matanya dibutakan oleh pasir. Akhirnya penyerang ditangkap dan dilumpuhkan, sejak itu ia bertobat dan mengaku kalah, lalu mereka kembali seperti semula. Konon, karena kejadian tersebut, kedua nelayan tersebut memerintahkan kerabat dan keturunannya untuk mengikuti adat istiadat mereka yang selalu tidur di atas pasir.
Sebab menurut mereka, tidur di atas pasir terbukti berhasil menyelamatkan diri dari serangan musuh baik fisik maupun non fisik. Era modernisasi dan perkembangan teknologi yang pesat ini telah membawa banyak inovasi seperti furniture rumah, seperti kasur pegas yang menurut sebagian orang lebih lembut dari pasir, namun anggapan tersebut tidak berlaku bagi mereka.
Alasan mereka tetap mempertahankan tradisi tersebut hingga saat ini bukan karena keterbatasan finansial, namun mereka mengakui bahwa hal tersebut hanyalah karena sulitnya mengubah cara hidup mereka. Bahkan di rumahnya juga terdapat kasur pegas yang biasa kita lihat di masyarakat, bahkan ada pepatah yang mengatakan "ranjang terbuka, pasir terhampar" artinya kalaupun mereka punya ranjang, itu hanya ranjang terbuka. Melestarikan keunikan tersebut memerlukan pelestarian budaya oleh semua pihak. Apabila keunikan ini dipertahankan maka menjadi kekuatan lokal yang menunjang kelestarian keberagaman bangsa.
Dengan tetap menjaga karakter lokal, “kampung kasur pasir” menunjukkan ciri khasnya sebagai desa budaya yang nilai-nilainya diakui oleh masyarakat setempat.
Upaya melestarikan tradisi tidur di atas pasir Masyarakat setempat berupaya melestarikan adat unik tersebut dengan mewariskan secara informal tradisi kasur pasir. Orang tua menyosialisasikan budaya kasur pasir ini melalui rutinitas yang senantiasa dilakukan di rumah agar anak dapat melihat dan ikut serta dalam kebiasaan orang tuanya. Selain itu, aparat desa yang berperan penting dalam membentuk politik di wilayah yang mereka kelola, bergabung dengan desa liivavaldas.
Pada dasarnya perangkat desa sudah mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang ada di desanya. Namun sejauh ini belum ada strategi konkrit untuk lebih menghadirkan desa kasur pasir sebagai desa wisata. Sebab, belum ada kebijakan khusus dan masih diserahkan kepada pemilik desa kasur pasir dengan politik pribadinya, dan diperlukan lebih banyak lagi untuk membangun kota kasur pasir yang telah berkembang secara internasional.
Meski demikian, pihak pemerintah desa dan masyarakat tetap menyambut pengunjung dengan tangan terbuka. Praktek unik kampung kasur pasir ini tak lepas dari pekerjaan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut di darat. Dari sudut pandang antropologi, komunitas nelayan berbeda dengan komunitas lain seperti petani. , daerah perkotaan atau masyarakat dataran tinggi.
Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial bahwa komunitas nelayan memiliki pola budaya yang ada pada komunitas lain dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sumber daya yang dikandungnya. Kelompok sosial mereka sebagian besar adalah nelayan tradisional dan nelayan komersial. Inilah faktor pertama yang mempengaruhi besarnya produksi perikanan tangkap nasional.
Musim penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang tahun, melainkan berlangsung setiap tahun pada bulan Desember-Maret. Kemunduran kesejahteraan sosial nelayan paling terasa di desa-desa pesisir yang perairannya banyak ditangkap, dimana hasil tangkapan atau pendapatan nelayan bervariasi atau tidak menentu dan menurun seiring berjalannya waktu. Nelayan yang tiba di darat biasanya disambut oleh anggota keluarganya, dan ketika hasil tangkapan ikan banyak, pembeli biasanya antre atau bahkan berebut untuk menangkap ikan nelayan dengan harga lebih murah. Sehingga transaksi jual beli yang biasa kita jumpai di pasar kini beralih ke pantai. Ikan hasil tangkapan mereka berbaris di pasir pantai seperti yang biasa Anda lihat di pasar, hanya saja lokasinya saja yang berbeda. Dari sanalah para nelayan yang biasanya penat dan letih yang pulang membawa hasil tangkapannya langsung disambut dengan hamparan pasir putih bersih yang biasanya ditempatkan pada bangunan-bangunan yang dibangun di tepi pantai seperti gubuk-gubuk agar para nelayan dapat beristirahat sejenak. untuk bersantai di pasir ketika mereka lelah.*
Sumber:
Melestarikan Tradisi Lokal: Kampung Kasur Pasir
Ulfa Anisa, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura