Suku Penjelajah Lautan Terakhir, Anak Kecilnya Lebih Cepat Pandai Berenang Diri Pada Berjalan

Suku Moken Penjelajah Laut Terakhir.--ISTIMEWA

radarmukomukobacakoran.com - Ternyata di dunia ini terdapat banyak suku yang mengganungkan hidup sehari-hari mereka di atas lautan. Salah satu yang menarik dibahas, yaitu Suku Moken. Moken merupakan salah satu dari sedikit suku pemburu dan pengumpul yang tersisa di Asia Tenggara yang menjadikan laut sebagai rumah sekaligus teman sejatinya. Dilansir dari channel youtube Kabar Pedia.

Di tengah lautan luas yang diapit oleh langit biru yang tidak pernah berhenti berkisah tentang waktu suku moken yang pemberani merajut mimpi dan kenyataan dalam setiap ombak yang menantang.

Mereka membawa warisan yang mendalam mencari makanan dari laut serta hutan berdagang kerang juga ikan. Melakukan perjalanan melintasi perairan di Selatan Myanmar dan Thailand.

Suku moken mempertahankan cara hidup nomadan di sepanjang pantai Andaman Selama ratusan tahun. Mereka yang merupakan kelompok etnis astronosia hidup terutama di Thailand Selatan dan di kepulauan mergui di Myanmar.

BACA JUGA:Realisasi Fisik DD Tahap I Pondok Panjang Dimulai

Suku moken sering disebut sebagai orang laut sebab kehidupan mereka sangat bergantung pada laut. Mereka adalah suku nomadan laut yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam perahu kecil buatan tangan yang disebut sebagai kabang. Perahu ini tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi, namun juga sebagai dapur kamar tidur serta ruang tamu. Sebagai kelompok yang bergantung pada laut keberadaan suku moken dapat disebut sebagai semi akatik.

Demikian ini karena seluruh hidup mereka berpusat pada laut dan mereka terutama hidup dari hasil laut. Mereka mengandalkan pengetahuan tradisional tentang navigasi dan memahami perilaku laut dan cuaca untuk bertahan hidup. Suku moken sangat ahli dalam menyelam bebas, berburu ikan dan mengumpulkan makanan laut tanpa menggunakan alat selam modern.

Bahkan dalam banyak kasus anak-anak dari suku moken telah belajar cara berenang sebelum mereka dapat berjalan dengan baik yang itu berarti bahwa anak-anak tersebut telah mengalami adaptasi semi akatik pada usia yang sangat muda. Biasanya suku muken hidup di daratan pada musim hujan, yaitu kurang lebih 3 bulan dalam setahu.

BACA JUGA:Bubuk Abate Ampuh Membunuh Jentik Nyamuk, Tapi Ada Kelemahannya

Lebih dari itu mereka mengembara di lautan dengan membawa serta anak-anaknya yang masih bayi. Karena itu adalah benar bahwa bagi mereka belajar berenang sebelum bisa berjalan uniknya dibandingkan dengan mata anak-anak yang hidup di daratan, mata anak-anak suku muken tampaknya tidak terlalu terganggu oleh air garam.

Kemungkinan anak-anak suku muken memiliki adaptasi fisiologis yang memungkinkan mereka bertahan lebih lama di bawah air dengan mata terbuka. Terdapat antara 2000 hingga 3000 orang moken yang tinggal di kepulauan mergui di sepanjang Pantai Selatan Burma.

Sementara sekitar 800 orang muken saat ini menetap di Thailand. Mereka tinggal di wilayah ini setidaknya sejak abad ke-18. Kendati seiring berlalunya waktu, mereka telah melintasi seluruh Laut Andaman gaya hidup pemburu pengumpul. Mereka bergantung pada laki-laki perempuan dan anak-anak yang masing-masing berperan dalam penghidupan keluarganya.

Mereka hanya mengambil sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan memberikan dampak minimal terhadap lingkungan alam. Ekonomi mereka berbasis pada barter dan pertukaran sumber daya laut seperti ikan kerang serta siput laut.

BACA JUGA:TPP Mukomuko Ikut Konsolidasi Pengembangan Desa Inklusif

Mereka juga mengumpulkan barang-barang yang dapat digunakan atau diperdagangkan seperti madu, kayu dan bahan-bahan alami lainnya dari hutan mangruf dan pulau-pulau tempat perahu mereka ditambatkan. Mereka memanfaatkan lebih dari 80 spesies tumbuhan untuk makanan 28 untuk tujuan pengobatan dan 105 untuk tempat tinggal kerajinan tangan serta keperluan lainnya.

Biasanya laki-laki suku moken menangkap ikan menggunakan tombak atau jaring sedangkan perempuan dan anak-anak mengumpulkan krustasia dan kerang saat air sedang surut. Mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk menahan nafas dan melihat ke bawah air dalam waktu yang jauh melebihi kemampuan orang biasa.

Karena itu banyak nelayan di Myanmar yang menggunakan jasa orang muken untuk membantu mereka menangkap ikan memasang jaring dan mengumpulkan moluska. Dahulu terdapat banyak kelompok pengembara laut yang berbicara dalam berbagai bahasa selung dan muken adalah dua nama yang digunakan untuk menggambarkan manusia perahu nomaden yang tinggal di lepas pantai Myanmar, Thailand, Malaysia Sumatera dan Kalimantan.

BACA JUGA:TPP Mukomuko Ikut Konsolidasi Pengembangan Desa Inklusif

Muken telah digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tinggal di sekitar kepulauan mergui dilepas pantai Myanmar. Sementara di Thailand moken dianggap sebagai salah satu dari tiga cabang caulai. Sedangkan orang Melayu menyebutnya sebagai orang laut. Suku moken tidak memiliki bahasa tertulis dan sejarahnya diturunkan lisan dari generasi ke generasi. Mereka adalah penganut animisme yang sangat memahami ser menghormati lingkungan, sumber daya alam.

Mereka suku moken telah hidup sebagai pengembara laut di perairan Myanmar dan Thailand. Hampir 4000 tahun mereka orang yang bermasalah kemiskinan marina diskriminasi yang semakin parah. Suku moken yang tinggal di pulau-pulau dan perairan Myanmar sebagian besar tidak terdaftar dan karena sifatnya yang nomaden banyak yang Tidak Dianggap sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar.

Setelah undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 disahkan pemerintah Myanmar mengeluarkan kartu identitas nasional yang diberikan kepada sejumlah pemimpin moken yang bertanggung jawab atas komunitas kecil yang tinggal di pulau-pulau di dekat Kota pelabuhan mergui. Kartu ini berfungsi sebagai izin perjalanan yang memungkinkan Armada pemimpin moken untuk berlayar dengan bebas.

BACA JUGA:Sinkronkan Program Pemerintah dengan Hasil Musrenbang, TAPD Bedah RKA 45 OPD

Namun sejak itu pemerintah tidak konsisten dalam menerbitkan kartu identitas bagi suku muken moken serta orang-orang tanpa kewarganegaraan lainnya di Myanmar harus meminta izin pemerintah untuk melakukan perjalanan keluar distrik tempat mereka tinggal dan tidak dapat bekerja secara legal. Tanpa Izin kerja akibatnya mereka seringkiali harus bekerja di sektor informal dengan upah dan kondisi di bawah standar hukum. Sebagai orang yang tidak memiliki kewarganegaraan suku ini tidak dapat menerima tunjangan berdasarkan skema layanan kesehatan serta kesejahteraan nasional.*

Tag
Share