Pakar Hukum Konsititusi Dari UGM, 3 Kejanggalan Terkait Putusan MK Dalam Sengketa Pilpres 2024
Putusan MK Dalam Sengketa Pilpres 2024.--ISTIMEWA
radarmukomukobacakoran.com - Kontroversi mengiringi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2024.
MK telah menolak permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 dan 03, yang masing-masing diwakili oleh Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo dengan Mahfud Md, dengan alasan yang dinilai kurang memadai.
Zainal Arifin Mochtar, seorang pakar hukum konstitusi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan tiga kejanggalan yang menjadi sorotan utama dalam putusan tersebut.
1. Zainal menyoroti batasan waktu yang diberikan oleh MK untuk proses pembuktian, yaitu hanya 14 hari untuk sengketa dan satu hari untuk pembuktian, yang dianggap tidak mencukupi.
Selain itu, jumlah saksi dan ahli yang dapat dihadirkan juga dibatasi, sehingga mengurangi kualitas dan kedalaman pembuktian.
2. terdapat disparitas dalam pendekatan yang diambil oleh hakim-hakim MK.
Beberapa hakim cenderung mengadopsi paradigma aktivisme yudisial dengan mempertimbangkan aspek substansial dari kasus, sementara yang lain lebih mengutamakan formalisme hukum.
Hal ini terlihat dari cara mereka menangani kasus-kasus seperti penggelontoran bantuan sosial (bansos) menjelang pilpres, yang memunculkan perdebatan mengenai etika dan doktrin hukum.
3. Zainal mengkritik ketiadaan refleksi mendalam dari MK terhadap substansi sengketa yang seharusnya menjadi fokus utama. Ia menekankan bahwa putusan MK seharusnya mencerminkan keadilan substantif yang tidak hanya terpaku pada prosedural formal.
Menutup analisisnya, Zainal Arifin Mochtar menyarankan perlunya reformasi komprehensif dalam sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia, khususnya di tingkat MK.
Reformasi ini diharapkan dapat memperbaiki celah-celah yang ada dan mencegah terulangnya masalah serupa di masa yang akan datang.*
Artikel ini dilansir dari berbagai sumber: