Penerbangan Kongo, Karcis Sekali Jalan Menuju Akhirat
Penerbangan Kongo, Karcis Sekali Jalan Menuju Akhirat.-Deni Saputra-Sceenshot
koranrm.id - Mersi, senyor. Mersi. Penerbangan merupakan salah satu cara bebergian paling aman. Tetapi di Republik Demokratik Kongo atau RDK, penerbangan bisa menjadi semacam karci sekali jalan menuju alam akhirat. Dilansir dari channel youtube "Kendati Demikian" penerbangan di RDK seringkiali disamakan dengan berjudi dengan nyawa. Banyak pesawat jatuh, mendarat darurat atau terbakar sehingga membuat negara ini menduduki daftar hitam penerbangan dunia. Semua maskapai Kongo bahkan pernah dilarang terbang ke Uni Eropa karena alasan keselamatan. Republik Demokratik Kongung sejatinya merupakan salah satu negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia.
Dari perut buminya, dunia mendapatkan berbagai mineral paling berharga seperti emas, berlian, tembaga, uranium hingga kobal yang merupakan bahan vital untuk baterai serta teknologi modern. Kendati demikian, kenyataan ini berbanding terbalik dengan kondisi infrastruktur serta transportasinya, terutama dalam sektor penerbangan. Ironisnya, di negara yang luasnya hampir sebesar Eropa Barat ini, pesawat seharusnya menjadi penyelamat untuk menghubungkan kota-kota yang terisolasi oleh hutan hujan serta sungai raksasa. Tetapi kenyataannya langit Kongo justru menjadi ruang penuh bahaya. Di Kongo, maskapai penerbangan tidak seperti di negara lain yang terstruktur serta diawasi dengan ketat. Di sini ada ratusan maskapai kecil yang lahir dan mati begitu saja. Banyak yang tidak terdokumentasi dengan jelas, tidak memiliki kantor tetap, bahkan tidak memiliki prosedur keselamatan. Maskapai-maskapai ini hanya membeli pesawat tua, menyewa pilot, lalu menjual tiket dengan harga sangat murah. Mereka beroperasi terutama di pedalaman untuk melayani rute yang tidak disentuh maskapai besar. Bagi warga di daerah terpencil, ini satu-satunya pilihan untuk keluar dari isolasi. Namun demikian, mereka harus menghadapi risiko yang sangat besar.
Bagi orang Kongo, pesawat bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan yang sangat mutlak. Wilayah yang luas dan minim jalan darat membuat perjalanan darat bisa memakan waktu berhari-hari. Dari Kinsasa, ibu kota yang terletak di barat menuju Goma yang berada di timur, jaraknya mencapai sekitar 1500 km. Tetapi karena jalan raya yang buruk dan rawan konflik, perjalanan darat bisa memakan waktu berminggu-minggu. Dengan pesawat, perjalanan itu bisa ditempuh dalam beberapa jam saja.
Namun, kenyataan pahitnya adalah setiap kali orang membeli tiket pesawat, mereka sebenarnya juga membeli risiko besar atau karcis menuju kematian. Sebagian besar maskapai di RDK mengoperasikan pesawat dengan usia yang sudah sangat tua dan seringkiali lebih dari 30 hingga 40 tahun. Pesawat-pesawat itu umumnya buangan dari negara-negara lain karena sudah dianggap tidak layak pakai di Eropa atau Amerika. Namun bukannya masuk museum atau dibuat suku cadang di Kongo, pesawat-pesawat ini masih dipaksa untuk terbang. Sebuah Boeing 72 yang sudah pensiun di Eropa bisa saja dihidupkan kembali di negara Kongo membawa penumpang dan barang melintasi hutan tropis. Dalam dunia penerbangan, perawatan pesawat adalah hal yang sangat sakral. Setiap jam terbang dicatat dengan presisi. Setiap baut diperiksa dan setiap mesin melalui pemeriksaan berkala. Tetapi di Kongo, hal ini seringki tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Teknisi sering harus bekerja tanpa suku cadang asli. Jika ada mesin yang rusak, bagian dari pesawat lain yang sudah tidak terbang akan dijadikan donor. Ada pula cerita bahwa beberapa teknisi bahkan menggunakan alat-alat bengkel mobil untuk memperbaiki komponen pesawat. Di banyak daerah, bandara hanyalah lapangan tanah atau landasan pendek dari aspal retak yang tidak memenuhi standar internasional. Banyak landasan pacu di Kongo terlalu pendek untuk ukuran pesawat yang dipakai. Beberapa hanya sepanjang 800 hingga 1000 m. Padahal pesawat kargo Antonov atau Boeing tua yang sering dipakai butuh lebih dari 2.000 m untuk lepas landas dengan aman. Apalagi jika kelebihan muatan. Akibatnya pilot harus mengambil risiko besar. Mereka menekan mesin hingga batas maksimal berharap pesawat bisa berangkat sebelum ujung landasan habis. Namun jika gagal, pesawat bisa menabrak pepohonan, jurang, atau pemukiman warga yang sering berada tepat di ujung jalur. Karena itu tidak berlebihan jika banyak orang menyebut pesawat-pesawat Kongo sebagai peti mati terbang. Setiap kali lepas landas, terdapat rasa was-was yang menggelayut di hati penumpang. Mereka tahu bahwa pesawat itu sangat tua, tahu bahwa muatannya sering berlebihan, dan tahu bahwa pilotnya pun sering terbang dengan jam kerja yang melelahkan. Tentu saja banyak kisah tragis lahir dari kondisi ini.
Pada tahun 1996, sebuah antonov an jatuh setelah lepas landas dari bandara endolo di Kinsasa. Pesawat itu kelebihan muatan dan tidak mampu mencapai ketinggian aman. Akibatnya ia jatuh menimpa pasar yang penuh dengan orang. Lebih dari 300 orang tewas dalam tragedi itu. Sebuah kecelakaan yang sampai hari ini dikenang sebagai salah satu yang paling mengerikan di Afrika. Di negara-negara maju, bandara dilengkapi dengan radar modern, menara pengawas, serta sistem navigasi yang canggih. Namun di Kongo, banyak bandara tidak memiliki fasilitas ini. Pilot sering harus mengandalkan pengalaman dan intuisi untuk menavigasi pesawat melewati badai tropis atau kabut tebal. Di sisi lain, pengawasan keselamatan oleh pemerintah hampir tidak ada. Korupsi telah membuat aturan penerbangan sangat longgar sehingga pesawat yang seharusnya dilarang terbang tetap bisa beroperasi setelah membayar cuan. Karena itu tidak heran jika Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Badan Internasional sudah lama melarang maskapai Kongo beroperasi di wilayah mereka. Larangan itu tentu bukan tanpa alasan. Statistik kecelakaan menunjukkan bahwa RDK adalah salah satu negara dengan rekor penerbangan paling mematikan di dunia. Beberapa kecelakaan besar menjadi bukti nyata. Setiap kecelakaan menambah panjang daftar hitam, tetapi jarang ada perubahan nyata. Buruknya penerbangan di RDK tidak lepas dari rantai sejarah panjang yang bermula dari masa penjajahan Belgia.
Pada awal abad ke-20, Belgia melihat Kongo bukan sebagai sebuah negara, melainkan sebagai tambang raksasa. Infrastruktur hanya dibangun sejauh mendukung ekstraksi sumber daya. Jalur kereta untuk mengangkut tembaga, jalan raya menuju tambang, dan pelabuhan sungai untuk ekspor. Penerbangan pun tidak luput dari logika kolonial ini. Bandara-bandara pertama dibangun bukan untuk rakyat, namun untuk kepentingan tambang serta administrasi kolonial. Pesawat digunakan oleh pejabat Belgia atau perusahaan Eropa dan bukan oleh penduduk Kongo. Ketika akhirnya Kongo merdeka pada tahun 1960, negara itu mewarisi sistem penerbangan yang sangat rapu. Bandara terbatas, armada kecil, dan tenaga ahli yang sebagian besar orang asing. Tidak ada investasi untuk mengembangkan industri penerbangan nasional. Karena selama puluhan tahun rakyat tidak dianggap sebagai subjek pembangunan.
Pada tahun 1965, seorang tokoh militer bernama Mutu Seseko merebut kekuasaan melalui Kudeta. Dan di bawah rezim diktatornya, Kongo berganti nama menjadi Zaire. Dan penerbangan nasional pun juga ikut dipoles. Mobutu membentuk Erzire, maskapai penerbangan nasional yang diharapkan bisa menjadi simbol kemajuan. Erzire sempat memiliki armada besar Boeing 747, DC 10 hingga pesawat jarak menengah. Namun di balik kemegahannya, Erzire adalah cermin dari korupsi yang mengerikan. Dana perusahaan sering diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa. Tiket gratis dibagi ke kroni politik, suku cadang tidak dibayar, dan hutang menumpuk. Pada tahun 1980-an, Erzire mulai runtuh. Pesawat-pesawatnya tidak terawat. Jadwal berantakan dan reputasi jatuh. Dan ketika akhirnya bangkrut di tahun 1995, Kongo kehilangan maskapai nasionalnya. Dan sejak saat itu ruang kosong diisi oleh ratusan maskapai kecil tanpa standar. Runtuhnya Erzire bertepatan dengan runtuhnya rezimo butu tahun 1997, Lauren Desire merebut kekuasaan mengganti nama negara kembali menjadi Republik Demokratik Kongo. Namun demikian, pergolakan tidak berhenti. yang menyusul adalah salah satu perang paling mematikan sejak perang dunia 2, yaitu perang Kongu kedua antara tahun 1998 hingga tahun 2003. Lebih dari li negara terlibat, puluhan kelompok milisi berperang dan jutaan orang tewas. Infrastruktur nasional hancur, termasuk bandara dan jalur penerbangan. Dalam situasi ini, penerbangan justru semakin kacau. Pesawat dipakai bukan hanya untuk transportasi sipil, tetapi juga untuk operasi militer dan logistik perang. Antonov tua buatan Soviet yang awalnya dirancang sebagai pesawat militer masuk ke Kongo dalam jumlah cukup besar. Setelah perang, pesawat-pesawat itu tidak ditarik dan justru dipakai untuk penerbangan sipil.
Maka pesawat yang seharusnya dipakai di medan tempur kini mengangkut barang dagangan serta penumpang sipil tanpa standar keselamatan. Setelah perang mereda, Kongo mencoba membangun kembali negaranya. Namun, masalah besar mulai muncul, yaitu korupsi yang meraja lela. Pemerintah pasca perang tidak mampu mengawasi ratusan maskapai kecil yang bermunculan. Banyak dari maskapai itu dimiliki oleh pejabat militer atau pengusaha lokal yang hanya mengejar keuntungan cepat. Pesawat dibeli murah dari pasar internasional, dipaksa terbang tanpa perawatan memadai, dan dioperasikan di jalur pedalaman. Tidak ada satuun otoritas nasional yang benar-benar berfungsi. Badan Penerbangan Sipil sangat lemah dan seringki terikat dengan kepentingan politik. Sehingga sebagai akibatnya aturan keselamatan hanya menjadi formalitas. Maka melihat semua kekacauan itu, Uni Eropa mengambil langkah yang sangat tegas. Sejak awal 2000-an, semua maskapai asal Kongo masuk daftar hitam. Artinya tidak ada satuun pesawat Kongo yang boleh terbang ke Eropa. Larangan ini adalah pukulan besar bagi citra penerbangan Kongo. Dunia menilai negeri ini tidak mampu menjamin keselamatan penerbangan. Namun di dalam negeri larangan itu justru dianggap sebagai kenyataan sehari-hari. Maskapai-maskapai tetap beroperasi meskipun hanya untuk rute domestik dan regional.