Burung Kapas Tembak: Si Lincah Bertipe Kawin-Cerai yang Bikin Penangkar Pusing

Burung Kapas Tembak.--Sceenshot

koranrm.id - Di sudut Jalan Kopri Raya, Bentiring, Bengkulu, suara kicau burung masih kerap terdengar dari halaman rumah sederhana milik Pak Edy. Lelaki paruh baya itu tampak sibuk memberi makan burung murai batu yang kini menjadi fokus penangkarannya. 

Namun di balik keberhasilannya merawat murai dengan sistem poligami, tersimpan kisah menarik tentang pengalaman lamanya menangkarkan burung kapas tembak  seekor kicau liar yang dikenal memiliki suara tajam sekaligus sifat yang tak kalah keras kepala.

Pak Edy menuturkan, ia pernah menangkarkan burung kapas tembak jantan dan betina beberapa tahun lalu. 

Awalnya, ia tertarik karena burung ini terkenal dengan suara tembakannya yang cepat dan lantang, membuatnya populer di kalangan pecinta kicau. Namun, di balik suara merdu itu, ternyata kapas tembak menyimpan tabiat unik. 

“Burung ini memang menarik, tapi anehnya kalau sudah kawin harus segera dipisahkan. Kalau tidak, betinanya bisa menyerang jantan,” ujar Pak Edy sambil tersenyum getir mengenang pengalamannya.

Ia menceritakan bagaimana suatu hari burung betina yang baru saja dikawinkan tiba-tiba mengejar dan mematok kepala jantannya hingga berdarah. Menurutnya, hal itu bukan kejadian langka, melainkan sudah menjadi kebiasaan alami burung kapas tembak. 

“Kalau dibiarkan, jantan bisa sampai botak, bahkan bisa mati. Jadi setelah kawin, harus cepat dipisah,” jelasnya. Fenomena itu membuat para penangkar menyebut kapas tembak sebagai burung “tipe kawin-cerai”, karena perilakunya yang seolah menolak kebersamaan setelah proses kawin selesai.

Burung kapas tembak (Pycnonotus flavescens), dikenal pula sebagai burung yang berenergi tinggi dan agresif. Dalam dunia kicau mania, jenis ini termasuk burung semi-fighter, yang memiliki sifat teritorial kuat dan mudah terpancing emosi. 

Itulah sebabnya proses penangkaran tidak bisa dilakukan sembarangan. “Harus benar-benar tahu sifatnya. Salah penanganan sedikit saja, bisa gagal total,” ujar Pak Edy.

Meski tantangan besar datang dari sifat alami burung tersebut, pada awalnya Pak Edy tetap mencoba bertahan. Ia berupaya menciptakan kandang khusus yang memisahkan jantan dan betina dengan sekat bambu tipis agar bisa saling melihat tanpa saling menyerang. 

Namun, usaha itu tak selalu berbuah manis. Biaya perawatan tinggi dan harga jual yang rendah membuatnya berpikir ulang untuk melanjutkan penangkaran. “Sekarang harga burung kapas tembak terlalu murah. Tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan,” ujarnya dengan nada tenang.

Kondisi pasar yang lesu membuat banyak penangkar akhirnya beralih ke jenis burung yang lebih menjanjikan. Pak Edy pun kini fokus menangkarkan murai batu, burung yang dikenal elegan, memiliki suara nyaring, dan nilai jual tinggi di pasaran. 

Berkat sistem poligami yang diterapkannya   satu jantan dengan beberapa betina hasil penangkarannya kini terbilang sukses. “Alhamdulillah, kalau murai batu masih stabil harganya. Dan dengan sistem poligami, produktivitas meningkat,” ungkapnya dengan mata berbinar.

Sukses yang kini diraihnya bukan tanpa pelajaran dari masa lalu. Pengalaman menangkarkan kapas tembak memberinya pemahaman tentang pentingnya mengenali karakter setiap jenis burung. 

Ia menyadari bahwa setiap spesies memiliki keunikan tersendiri yang harus dihormati. Burung kapas tembak, misalnya, meskipun sulit diternakkan, tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi penggemar kicau yang mencari tantangan. 

“Kalau sekadar untuk hobi, burung ini menyenangkan. Tapi kalau untuk bisnis, sulit bertahan,” katanya jujur.

Fenomena “kawin-cerai” pada burung kapas tembak sebenarnya telah lama menjadi bahan perbincangan di kalangan peneliti dan pecinta burung. Dalam jurnal  Avian Behavioral Ecology (2020), dijelaskan bahwa beberapa spesies burung penyanyi memiliki pola perilaku pasca-kawin yang agresif, terutama pada betina yang memiliki insting protektif terhadap sarang. 

Agresivitas ini dipicu oleh perubahan hormon setelah proses kawin dan pembentukan wilayah teritorial yang kuat. Perilaku semacam itu juga tercatat pada beberapa jenis burung bulbul di Asia Tenggara, termasuk kapas tembak yang masih satu famili.

Dari sisi ekologis, sifat agresif burung kapas tembak sesungguhnya adalah bentuk adaptasi alami untuk mempertahankan keturunan. Namun dalam konteks penangkaran, sifat itu justru menjadi hambatan besar.

 Banyak penangkar seperti Pak Edy akhirnya memilih mundur karena kesulitan mengendalikan perilaku alami yang sulit diubah. Ini menggambarkan betapa rapuhnya keseimbangan antara naluri alam dan intervensi manusia dalam dunia penangkaran.

Kini, di tengah gemericik air di pekarangan rumahnya, Pak Edy masih setia dengan murai batu. Ia sesekali melihat sangkar kosong bekas kapas tembak yang tergantung di sudut, seolah menyimpan kenangan tentang masa-masa penuh tantangan.

 “Saya tidak menyesal pernah menangkarkan kapas tembak. Dari situ saya belajar banyak tentang dunia burung,” tuturnya.

Kisah Pak Edy bukan sekadar cerita tentang kegagalan menangkarkan burung liar. Ia mencerminkan perjalanan seorang penangkar yang terus belajar dari alam  memahami bahwa di balik setiap kicauan, ada karakter dan kehidupan yang tak bisa dipaksa untuk jinak sepenuhnya. 

Burung kapas tembak, dengan sifat “kawin-cerainya”, mengajarkan bahwa tidak semua yang indah didengar mudah untuk dijinakkan. Dan bagi para pencinta kicau, itu justru menjadi bagian dari keindahan dunia mereka yang penuh kesabaran dan cinta terhadap makhluk bersayap ini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan