Sejarah Terbentuk Nya Negara Israel di wilayah Palestin

Sejarah Terbentuk Nya Negara Israel di wilayah Palestin--screenshot dari web.
Koranrm.id- Pada bulan Mei 1948, di sebuah gedung sederhana di Tel Aviv, suara David Ben-Gurion menggema dalam sebuah pernyataan yang akan mengubah arah sejarah.
Dengan suara mantap, ia membacakan deklarasi pendirian Negara Israel. Segenap hadirin berdiri, sebagian dengan air mata yang berlinang, sebagian lagi dengan dada yang membuncah bangga.
Dunia menyaksikan lahirnya sebuah negara baru di tanah yang sejak lama menjadi titik temu sejarah, budaya, dan pertumpahan darah.
Deklarasi itu menandai babak baru bagi bangsa Yahudi sekaligus membuka lembaran penuh konflik yang hingga kini masih menjadi bara di jantung Timur Tengah.
Perjalanan menuju terbentuknya Negara Israel bukanlah kisah yang terjalin dalam sekejap. Akar sejarahnya menjulur jauh ke akhir abad ke-19, ketika ide zionisme modern mulai berkembang.
Gerakan ini dipelopori oleh Theodor Herzl, seorang jurnalis dan aktivis Yahudi asal Austria-Hungaria, yang gelisah melihat gelombang antisemitisme di Eropa.
Dalam karya terkenalnya Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menguraikan gagasan tentang perlunya bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan diskriminasi yang mereka alami.
Palestina, tanah yang secara historis dan spiritual dianggap sebagai tanah leluhur bangsa Yahudi, menjadi poros utama cita-cita itu.
Gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina mulai menggeliat sejak akhir 1800-an.
BACA JUGA:Palestina, Negeri Para Nabi dan Kota Suci Tiga Agama
Didukung modal dari konglomerat Yahudi di Eropa dan Amerika, koloni-koloni kecil didirikan di wilayah yang saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman.
Komunitas Yahudi yang semula minoritas perlahan bertambah jumlahnya, terutama setelah Perang Dunia I berakhir. Pada 1917, sebuah momentum penting muncul dalam bentuk Deklarasi Balfour.
Surat yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, kepada Lord Rothschild ini menyatakan dukungan pemerintah Inggris terhadap pendirian “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina.
Dukungan tersebut tidak lepas dari kepentingan geopolitik Inggris, yang berusaha menjaga pengaruhnya di kawasan strategis ini.
Seiring dengan makin derasnya arus imigrasi Yahudi, ketegangan dengan penduduk Arab Palestina tak terelakkan.
Bagi warga Arab setempat, tanah yang telah mereka diami selama dari generasi ke generasi mendadak terasa asing. Lahan-lahan pertanian dibeli oleh para imigran Yahudi dengan harga tinggi, lalu diubah menjadi koloni-koloni eksklusif.
Persaingan atas tanah, pekerjaan, dan sumber daya memantik bentrokan demi bentrokan yang semakin sulit didamaikan.
Pemerintahan Mandat Inggris yang diberi amanah mengelola Palestina pasca-Ottoman, kerap gagal menjadi penengah.
Upaya Inggris mengendalikan situasi justru membuat kedua belah pihak-Yahudi dan Arab-sama-sama kecewa dan marah.
Perang Dunia II menjadi titik balik krusial. Tragedi Holocaust yang menewaskan enam juta orang Yahudi di Eropa menggugah simpati dunia internasional.
Di mata banyak pihak, pendirian negara Yahudi dianggap sebagai jawaban moral atas penderitaan yang tak terperi itu.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun turun tangan. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengesahkan Rencana Pembagian Palestina (UN Resolution 181), yang membagi wilayah itu menjadi dua negara: satu untuk Yahudi, satu untuk Arab, dengan Yerusalem dikelola secara internasional.
Kaum Yahudi menerima rencana ini meski dengan berat hati karena wilayah yang mereka peroleh terbatas dan terpecah-pecah.
Sementara itu, pihak Arab Palestina dan negara-negara Arab menolaknya mentah-mentah, memandangnya sebagai ketidakadilan yang merampas hak mereka atas tanah air sendiri.
Saat Inggris menarik diri dari Palestina pada 14 Mei 1948, deklarasi pendirian Israel diumumkan. Keesokan harinya, pecah Perang Arab-Israel pertama.
Tentara Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak bergerak menyerbu negara yang baru lahir itu. Namun, Israel mampu bertahan dan bahkan memperluas wilayahnya melampaui batas pembagian PBB.
Perang ini meninggalkan luka mendalam: sekitar 700.000 warga Palestina terusir dari tanah kelahiran mereka, menjadi pengungsi di negeri-negeri tetangga.
Peristiwa ini kelak dikenal sebagai Nakba malapetaka bagi rakyat Palestina, yang memicu siklus konflik panjang hingga hari ini.
Pendirian Israel di wilayah Palestina bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan rangkaian panjang sejarah, politik, dan tragedi kemanusiaan.
Di balik berdirinya negara itu, ada idealisme, kepentingan kekuatan barat, dengan mengatas namakan penderitaan jutaan jiwa.
Hingga kini, tanah yang dijanjikan itu tetap menjadi medan perebutan, tempat di mana mimpi dan duka bercampur, di mana damai terus dicita-citakan tetapi selalu kandas.**