Deepfake Marketing: Apakah Etis Menjual Produk Lewat Influencer Virtual Tiruan?

Deepfake Marketing: Apakah Etis Menjual Produk Lewat Influencer Virtual Tiruan? --screenshot dari web.

KORANRM.ID - Topik kontroversial tentang penggunaan wajah public figure lewat teknologi deepfake dalam kampanye digital. Di tengah hingar-bingar dunia digital yang semakin canggih, teknologi deepfake mulai menembus batas realitas. Jika dulu kita hanya mengenalnya sebagai hiburan di media sosial atau parodi viral, kini deepfake telah menyusup ke ranah yang lebih serius: pemasaran digital. Wajah-wajah selebritas yang dikenal publik, bahkan tokoh ikonik yang telah tiada, bisa kembali “hidup” untuk mempromosikan sebuah produk. Namun bersamaan dengan kemajuan ini, timbul pertanyaan mendasar: apakah etis menjual produk lewat influencer virtual tiruan?

Deepfake adalah teknologi berbasis kecerdasan buatan, khususnya generative adversarial networks (GAN), yang mampu merekayasa wajah, suara, dan ekspresi seseorang dalam bentuk video atau audio digital dengan tingkat kemiripan yang nyaris sempurna. Di tangan kreator digital, teknologi ini membuka peluang luar biasa—mulai dari iklan kosmetik yang menampilkan wajah muda artis tahun 90-an, hingga kampanye mobil listrik yang menggunakan avatar tokoh pejuang lingkungan.

Industri periklanan dengan cepat mencium potensi dari deepfake marketing. Tanpa harus menyewa aktor atau influencer mahal, brand bisa menghadirkan figur publik yang sudah memiliki daya tarik emosional. Cukup dengan database wajah dan suara, ditambah narasi yang diatur secara presisi, hasil akhirnya bisa sangat meyakinkan. Bahkan, di beberapa kasus, penonton tidak menyadari bahwa yang mereka lihat bukanlah video asli.

Contohnya, sebuah merek jam tangan global sempat membuat kampanye viral dengan menampilkan seorang aktor legendaris yang telah wafat berbicara dalam video promosi. Di sisi lain, startup teknologi fashion menggunakan wajah influencer ternama yang belum tentu terlibat langsung, tetapi muncul dalam bentuk visualisasi deepfake dalam koleksi digital mereka. Strategi ini dinilai mampu meningkatkan engagement, menciptakan daya kejut, dan memanfaatkan nostalgia sebagai alat pemasaran.

BACA JUGA:AI-Generated Brands: Ketika Seluruh Identitas Bisnis Dibuat oleh Kecerdasan Buatan

Namun, kemudahan ini memunculkan dilema etika yang rumit. Pertama, soal persetujuan. Apakah pemilik wajah—baik masih hidup maupun yang telah tiada—telah memberikan izin atas penggunaannya? Kedua, soal transparansi. Haruskah publik diberi tahu bahwa tokoh yang muncul di layar hanyalah hasil rekayasa digital? Ketiga, soal manipulasi emosional. Ketika video dibuat begitu realistis, apakah konsumen tidak sedang diarahkan untuk percaya pada sesuatu yang tidak benar?

Isu ini menjadi lebih tajam ketika menyangkut figur yang memiliki pengaruh besar. Menggunakan wajah tokoh spiritual, politikus, atau pejuang hak asasi manusia untuk menjual produk dapat dianggap eksploitasi simbolik. Apalagi jika kontennya menimbulkan persepsi bahwa tokoh tersebut mendukung atau merekomendasikan sesuatu yang sejatinya tidak pernah ia lakukan. Hal ini dapat menciptakan distorsi sejarah, identitas, dan integritas moral.

Di beberapa negara maju, regulasi mulai disusun untuk mengatasi penyalahgunaan deepfake, termasuk dalam konteks iklan. Uni Eropa, misalnya, dalam kerangka Digital Services Act dan AI Act, mewajibkan label atau penanda jika konten merupakan hasil kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, beberapa negara bagian mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan wajah individu tanpa persetujuan eksplisit untuk tujuan komersial, termasuk dalam bentuk digital.

Namun, regulasi ini masih mengejar ketertinggalan dari laju inovasi. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kebijakan tentang pemanfaatan deepfake dalam industri kreatif belum memiliki landasan hukum yang jelas. Hal ini membuat para pelaku bisnis, content creator, dan agensi pemasaran berada di area abu-abu. Mereka bergerak antara potensi viralitas dan risiko tuntutan hukum atau boikot publik.

Sementara itu, teknologi terus berkembang. Kini, dengan bantuan AI generatif, tidak hanya wajah dan suara yang bisa direkayasa, tetapi juga gaya bicara, intonasi, bahkan pemikiran tokoh bisa disimulasikan. Dengan integrasi teknologi seperti GPT untuk menyusun skrip dan Sora untuk memproduksi video, proses pembuatan kampanye iklan dengan tokoh tiruan menjadi lebih cepat dan murah. Dalam waktu dekat, kita mungkin akan melihat "iklan-iklan kolaborasi" antara selebritas masa kini dan tokoh sejarah dalam satu frame, tanpa seorang pun benar-benar hadir di lokasi syuting.

Namun, di tengah kekhawatiran, muncul juga argumen pembelaan. Sebagian pelaku industri memandang deepfake sebagai bentuk baru dari storytelling. Layaknya film animasi atau aktor digital dalam game, teknologi ini dilihat sebagai alat kreatif, bukan alat penipuan. Asal transparan dan disetujui, menurut mereka, tidak ada salahnya menciptakan kembali tokoh tertentu dalam konteks fiktif untuk hiburan atau edukasi.

Beberapa brand bahkan menjadikan transparansi sebagai nilai jual. Mereka secara terbuka menyatakan bahwa tokoh dalam video adalah hasil rekayasa AI, lengkap dengan dokumentasi proses kreatifnya. Hal ini justru memicu minat publik, memperkuat kepercayaan, dan membuka diskusi sehat tentang masa depan konten digital. Ini membuktikan bahwa etika tidak selalu berarti pembatasan, tetapi bisa menjadi strategi keunggulan kompetitif.

Maka, masa depan deepfake marketing bergantung pada tiga hal utama: persetujuan, keterbukaan, dan konteks. Jika teknologi digunakan untuk menghidupkan warisan tokoh besar dengan restu keluarganya, misalnya, dalam rangka kampanye sosial atau dokumenter edukatif, hal ini bisa bernilai positif. Namun jika digunakan untuk menipu publik, membelokkan opini, atau mengeksploitasi tanpa izin, maka risikonya bukan hanya reputasi, tetapi juga hukum.

Bagi pelaku bisnis digital, penting untuk menyadari bahwa setiap langkah dalam penggunaan deepfake adalah bagian dari narasi brand. Etika tidak boleh ditangguhkan demi viralitas. Masyarakat semakin kritis, dan kepercayaan adalah mata uang paling berharga di dunia pemasaran. Keberhasilan jangka panjang tidak ditentukan oleh teknologi yang digunakan, melainkan oleh nilai dan kejujuran yang ditanamkan di balik setiap konten.

Deepfake marketing memang membuka bab baru dalam dunia bisnis digital. Tapi ia bukan jalan pintas bebas risiko. Ia adalah medan baru yang memerlukan kebijaksanaan, keberanian untuk transparan, dan kemampuan untuk memahami batas antara kreativitas dan manipulasi. Dalam dunia di mana mata bisa ditipu, kepercayaan justru menjadi komoditas paling langka.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan