Eksplorasi Makanan Tradisional Daerah yang Hampir Punah

Eksplorasi Makanan Tradisional Daerah yang Hampir Punah .--screnshoot dari web

KORANRM.ID - cita rasa aslinya. Eksplorasi terhadap makanan tradisional yang hampir punah menjadi penting bukan hanya untuk melestarikan rasa, tetapi juga untuk menjaga identitas budaya yang melekat di setiap sajian.

Makanan tradisional bukan sekadar kebutuhan konsumsi, tetapi juga cerminan sejarah, kepercayaan, hingga kearifan lokal suatu daerah. Setiap resep menyimpan kisah: dari bahan yang hanya tumbuh di wilayah tertentu, hingga cara memasak yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, seiring berubahnya selera generasi muda, hilangnya bahan baku lokal, dan kurangnya dokumentasi kuliner, banyak makanan khas mulai terlupakan. Contohnya adalah “Bagot Ni Horbo” dari Tapanuli, sup dari darah kerbau yang kini makin jarang dibuat, atau “Gangan Asam Patin Daun Kedondong” khas Kalimantan yang mulai ditinggalkan karena sulitnya mencari daun kedondong muda di kota-kota besar.

BACA JUGA:Misteri dan Kemegahan Candi Ratu Boko, Jejak Peradaban di Perbukitan Yogyakarta

BACA JUGA:Rahasia Memilih Lele Segar, Panduan Lengkap untuk Cita Rasa yang Sempurna

Faktor utama kepunahan makanan tradisional adalah minimnya regenerasi pengetahuan kuliner. Banyak generasi tua yang masih menyimpan resep otentik enggan atau belum sempat mewariskannya, sementara generasi muda tak lagi tertarik mempelajari cara memasaknya. Ditambah lagi, bahan-bahan lokal yang dulunya mudah ditemukan kini semakin langka karena alih fungsi lahan, perubahan ekosistem, dan gempuran komoditas impor. Di sisi lain, persepsi bahwa makanan tradisional terlalu rumit atau “ketinggalan zaman” juga turut membuatnya dilupakan.

Padahal, dari sudut pandang nilai gizi dan kesehatan, banyak makanan tradisional justru lebih unggul dibanding makanan modern. Sebagian besar menggunakan bahan alami, bebas pengawet, dan kaya serat serta rempah yang menyehatkan. Misalnya, “Tiwul” dari Gunung Kidul—makanan pokok dari singkong yang dulu menjadi penyelamat saat paceklik—kini justru dikaji ulang sebagai makanan rendah glikemik yang cocok untuk penderita diabetes.

Beberapa pegiat kuliner, komunitas budaya, dan akademisi mulai bergerak untuk menyelamatkan warisan kuliner ini. Melalui festival makanan tradisional, lomba memasak khas daerah, hingga pendokumentasian resep-resep lama ke dalam bentuk buku atau video, upaya pelestarian pun mulai berjalan. Misalnya, gerakan #SaveKulinerLokal yang banyak digaungkan oleh food blogger dan chef lokal, berhasil menarik perhatian generasi muda untuk mencicipi kembali makanan seperti “Papeda” khas Papua atau “Gulai Siput” dari Riau.

BACA JUGA:Dari Bubuk Hijau Menuju Segudang Cita Rasa, Panduan Lengkap Mengolah Matcha Menjadi Minuman

Di ranah pendidikan, beberapa universitas dan SMK kuliner mulai mengintegrasikan pembelajaran masakan tradisional dalam kurikulumnya. Upaya ini menjadi langkah strategis agar ilmu memasak khas Nusantara tidak hilang. Bahkan, beberapa sekolah memasukkan kunjungan lapangan ke desa-desa kuliner sebagai bagian dari pelatihan. Di sisi lain, pemerintah daerah pun perlahan menunjukkan dukungan dengan memberikan sertifikasi UMKM makanan tradisional, serta memfasilitasi keikutsertaan mereka dalam ajang pameran kuliner nasional maupun internasional.

Media sosial dan platform digital juga memegang peranan penting dalam eksistensi makanan daerah. Banyak akun kuliner tradisional kini bermunculan di TikTok, Instagram, dan YouTube, membagikan resep otentik dengan gaya kekinian. Fenomena ini membuktikan bahwa makanan tradisional tidak harus selalu dibingkai dalam bentuk kuno—dengan kemasan yang menarik dan narasi kuat, sajian warisan ini bisa menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda urban yang haus akan konten lokal yang bermakna.

Namun demikian, pelestarian makanan tradisional juga harus menyentuh aspek keberlanjutan. Artinya, bahan baku lokal perlu terus dijaga, ditanam kembali, dan dilindungi dari kepunahan. Misalnya, pelestarian rempah endemik, budidaya tanaman sayur langka, dan ternak khas daerah. Kolaborasi antara petani, pelaku kuliner, dan pemerintah dapat menciptakan ekosistem pangan lokal yang kuat, sehingga makanan tradisional tidak hanya eksis sebagai simbol, tapi benar-benar hidup dalam keseharian masyarakat.

BACA JUGA:Sego Cawuk Sajian Sederhana, Cita Rasa Luar Biasa dari Banyuwangi

Membangkitkan kembali makanan tradisional yang hampir punah bukan semata soal nostalgia, tapi tentang menjaga keberagaman hayati, budaya, dan kemandirian pangan bangsa. Ketika anak-anak muda kembali bangga menyantap makanan khas daerahnya, ketika warung kecil di kampung kembali menyajikan hidangan leluhur dengan semangat baru, saat itulah kuliner tradisional benar-benar menemukan harapan.

Karena sejatinya, keberadaan makanan tradisional bukan hanya soal mempertahankan rasa—tetapi mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa yang kaya, berakar, dan bermartabat dalam budaya kuliner yang luar biasa luas dan dalam.

Referensi:

• Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2023). Katalog Kuliner Tradisional Indonesia Terancam Punah.

• Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (2022). Laporan Riset Ketahanan Pangan Lokal dan Kuliner Tradisional.

• Indonesia Gastronomy Network. (2024). Mengangkat Kembali Warisan Rasa Nusantara.

• Harian Kompas. (2023). Makanan Tradisional di Tengah Arus Modernisasi: Sebuah Tantangan Pelestarian.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan