Fenomena ‘Time Poverty’: Mengapa Kita Merasa Semakin Kekurangan Waktu?"

Fenomena ‘Time Poverty’ Mengapa Kita Merasa Semakin Kekurangan Waktu.--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Di era modern yang serba cepat, banyak orang merasa selalu kekurangan waktu meskipun teknologi telah memungkinkan efisiensi yang lebih tinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini dikenal sebagai ‘time poverty’ atau kemiskinan waktu, di mana individu merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan tugas, bersosialisasi, atau sekadar beristirahat. Mengapa perasaan ini semakin umum terjadi di masyarakat saat ini?
Time poverty merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa kekurangan waktu untuk melakukan kegiatan yang diinginkan atau dibutuhkan, meskipun jam dalam sehari tetap sama. Ini bukan hanya sekadar masalah persepsi, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti beban kerja yang meningkat, ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, serta distraksi digital yang terus berkembang.
BACA JUGA:Hubungan Harmonis dengan Sikap Lowkey di Era Modern jauh Lebih Membahagiakan
BACA JUGA:Manusia di Mars Kapan Kolonisasi Planet Merah Akan Jadi Kenyataan
Fenomena ini dapat mempengaruhi berbagai kelompok masyarakat, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pekerja dengan jam kerja panjang, orang tua yang bekerja, serta mereka yang memiliki lebih banyak tanggung jawab domestik cenderung lebih terdampak. Wanita sering kali mengalami dampak yang lebih besar karena mereka sering menghadapi beban kerja ganda antara pekerjaan dan urusan rumah tangga.
Konsep time poverty mulai mendapat perhatian luas pada dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya penelitian tentang kesejahteraan dan keseimbangan kehidupan kerja. Meskipun manusia telah lama merasakan tekanan waktu, digitalisasi dan perubahan pola kerja semakin memperburuk situasi ini.
BACA JUGA:Detektif Tubuhmu, Mengenali Alergi Makanan dan Mengapa Hal Itu Terjadi
Dampak dari time poverty paling terasa di lingkungan kerja yang kompetitif, di mana tekanan untuk selalu produktif semakin besar. Selain itu, di kota-kota besar dengan mobilitas tinggi, waktu yang dihabiskan untuk perjalanan juga berkontribusi terhadap perasaan kekurangan waktu.
Mengapa time poverty menjadi masalah? Kekurangan waktu dapat berdampak pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Stres, kecemasan, dan kelelahan kronis sering kali terkait dengan perasaan tidak memiliki cukup waktu. Selain itu, time poverty juga mempengaruhi kualitas hubungan sosial dan kebahagiaan individu secara keseluruhan.
BACA JUGA:Indonesia Cetak Sejarah di Ajang BAMTC
BACA JUGA:Jelang Ramadhan Pemda Cek Harga Sembako di Pasar Tradisional
Mengatasi time poverty memerlukan pendekatan yang holistik, baik dari sisi individu maupun sistem sosial. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain adalah pengelolaan waktu yang lebih baik, fleksibilitas kerja, pengurangan jam kerja yang berlebihan, serta kesadaran untuk mengurangi distraksi digital.
Selain itu, kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi dapat membantu mengurangi dampak negatif dari fenomena ini.
Kesimpulannya, time poverty adalah realitas yang semakin banyak dirasakan oleh masyarakat modern. Meskipun teknologi telah membawa efisiensi, tuntutan kerja dan distraksi digital membuat banyak orang merasa semakin kekurangan waktu. Dengan strategi yang tepat, fenomena ini dapat dikelola agar kehidupan menjadi lebih seimbang dan produktif tanpa mengorbankan kesejahteraan.
Referensi
• Harvard Business Review (2023). "The Time Poverty Trap and How to Escape It."
• Journal of Work-Life Balance (2023). "Understanding the Modern Perception of Time Scarcity."
• World Economic Forum (2022). "Digital Distractions and the Future of Work-Life Integration."