Mengenal Suku Akha Dan Kebiasaan Mereka

Sabtu 18 May 2024 - 10:08 WIB
Reporter : Deni Saputra
Editor : Ahmad Kartubi

Pada artikel kali ini kita akan membahas terkait Suku Akha yang sangat menarik untuk disampaikan. Dilansir dari channel youtube Kabar Pedia.

Di tengah pegunungan yang menjulang tinggi di Asia Tenggara di antara lembah-lembah yang diselimuti kabut dan hutan-hutan rimbun terdapat suku akha.

Sebuah suku yang menjadi warisan masa lampau yang tidak tergoyahkan mereka adalah penerus dari sebuah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Hidup selaras dengan alam dan mempertahankan kekayaan budaya yang tidak ternilai setiap hari matahari terbit membawa cerita baru bagi orang-orang akha.

Di mana rumah rumah bambu mereka berdiri dengan kokoh seolah berbisik kepada dewa-dewa dengan pakaian tradisional yang penuh dengan warna.

Mereka menari dalam Irama Kehidupan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sebuah tarian yang mengungkapkan kegembiraan kesedihan serta harapan.

Di setiap simpul kain serta di setiap pola yang diukir tersembunyi kisah-kisah dari masa lalu yang masih terus bergema hingga hari ini mengingatkan kita pada kekuatan dan ketahanan suku akha yang sangat luar.

Biasa sekitar 15 abad yang lalu nenek moyang mereka yang berasal dari provinsi Yunan memulai perjalanan panjang berpindah-pindah ke berbagai daerah diombang-ambingkan oleh gelombang perang serta konflik.

Saat ini dengan populasi yang diperkirakan mencapai sekitar 400.000 jiwa suku aha menjadi kelompok dan tersebar luas di berbagai tempat dari desa-desa kecil di dataran tinggi pegunungan Thailand Myanmar Laos hingga provinsi Yunan di Tiongkok.

Mereka mengolah tanah memelihara warisan mereka sebagai penduduk minoritas melukiskan cerita peradaban yang telah bertahan melalui ujian waktu dan sejarah sebagai pemelihara spiritual yang telah menyala sejak zaman nenek.

Tradis suku aha tidak diturunkan melalui goresan pena pada kertas melainkan melalui kata-kata yang diucapkan. Meskipun mereka dikenal dengan agama-agama besar seperti Kristen atau Budha namun sejaya orang-orang aha.

Sebagai formalitas tetapi sebagai ekspresi iman yang tulus kepada roh-roh yang mereka percayai akan membimbing serta melindungi mereka dari segala rintangan.

Desa-desa suku aha berdiri sebagai saksi atas perpaduan antara masa lalu yang agung dengan masa kini yang dinamistur.

Desa mencerminakn ciri khas namun tidak lepas dari sentuhan moderenitas dengan arsitektur yang bervariasi. Mulai dari rumah rendah yang sederhana berdiri dengan kokoh di atas tanah hingga rumah tinggi yang elegan terangkat di atas panggung kayu setiap sudut Desa aha adalah perwujudan dari adaptasi dan ketahanan.

Di dalam Desa rumah-rumah dipisahkan berdasarkan gender menciptakan ruang yang sakral dan pribadi sekaligus ruang bersama yang menjadi pusat kehidupan komunal.

Di tengah Desa berdiri ayunan Desa bertiang empat yang cukup tinggi. Sebuah monumen kesuburan yang dibangun setiap tahun oleh sesepuh desa sebagai persembahan kepada leluhur dan sebagai harapan untuk panen padi yang melimpah.

Selain itu di pintu masuk desa gerbang aha yang merupakan rumitnya sebagai dan hewan peliharaan dari wilahyah roh serta satwa liar.

Gerbang ini bersama dengan ukiran pada atap rumah benteng spiritual yang mengusir roh jahat dan menjaga kesebangan antara dunia yang saling berdampingan.

Bagi masyarakat aha tanah bukanlah komoditas yang diperjualbikan di pasaran. Hak atas tanah dianggap sebagai warisan tradisional yang telah berlangsung selama beberapa generasi incianend luhur yang mengolahnya dengan tangan-tangan yang penuh keringat dan terampil.

Namun Sistem tanah seperti ini telah membentuk status seminomaden bagi suku aha. Di mana desa-desa mereka dapat berpindah dari satu lahan ke lahan lainnya sehingga dapat membuka lahan pertanian yang baru. Mereka mengikuti jejak matahari mengikuti suara angin dan mengikuti panggilan tanah yang memanggil mereka untuk menghidupkan kembali lahan yang telah Terlupakan.

Pemerintah Thailand telah menetapkan larangan terhadap praktik ini mengingat dampak buruknya terhadap kondisi lingkungan. Kendati demikian suku aha tidak pernah menyerah tetapi mereka harus terus berusaha untuk beradaptasi dengan jenis pertanian subsisten yang lahan mereka.

Perlahan-lahan pertanian hanyalah satu bagian dari cerita mereka dan terdapat kisah-kisah yang lebih mendalam serta dramatis.

Babi ayam bebek kambing sapi dan kerbau, hewan-hewan ternak yang menjadi sahabat. Memberikan nilai ekonomi yang lebih banyak. Anak-anak suku aha dengan mata berbinar-binar menggembalakan hewan-hewan ini mengajarkan mereka tentang tanggung jawab serta keterhubungan dengan alam.

Di sisi lain para wanita dari masyarakat aha dengan tangan yang terampil mengumpulkan tanaman dari hutan sekitar. Diantara dedaunan hijau mereka menemukan telur dan serangga yang kadang-kadang menjadi bahan makanan atau bahkan obat tradisional.

Sementara itu pasangan perempuan dan laki-laki sering berlabuh di tepi danau serta sungai setempat mereka menggantungkan harapan pada umpan yang mereka lemparkan ke dalam air memancing menunggu momen ketika ikan menarik kail.

Namun ada satu lagi keahlian yang mengalir dalam darah suku Ahad di mana laki-laki mengasah mata tombak berburu mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju ke dalam hutan.

Ini bukan sekedar mencari makanan tetapi merupakan hiburan favorit bagi para lelaki dan merupakan sebuah cara untuk menjalani kehidupan senjata yang diperoleh dari perdagangan.

Di kota-kota besar mulai menggantikan penggunaan busur panah dalam berburu mengubah cara mereka berinteraksi dengan alam bagi suku aha.

Pernikahan bukan sekedar ikatan dua insan melainkan sebuah tatanan sosial yang mendalam di mana poligami diperbolehkan dan pernikahan bisa bersifat endogami atau eksogami dalam adat istiadat ini.

Orang yang memberi istri dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sebuah simbol status dan kehormatan yang terpatri dalam budaya mereka.

Kendati demikian terdapat kepercayaan yang menggema dengan nada yang lebih gelap serta dramatis di mana kelahiran kembar dianggap sebagai gangguan roh pada urusan manusia.

Anak yang lahir kembar dalam pandangan mereka merupakan simbol dari alam hewan bukan alam manusia.

Tradisi yang kelam perah menghantui masa lalu mereka di mana nyawa-nyawa kembar tidak berdosa ini justru diakhiri sebelum sempat melanjutkan kehidupan.

Meskipun zaman telah berubah dan pemerintah berusaha menghapus praktik ini tetapi bayang-bayang masa lalu masih sangat terasa di beberapa sudut di negara Laos.

Selain itu kematian memiliki aturan tersendiri terutama jika disebabkan oleh hewan buas seperti harimau. Kematian akibat hewan buas ini dianggap sebagai tanda buruk yang membutuhkan perawatan serta penguburan dengan cara tersendiri.

Sejak pertengahan abad ke-20 para misionaris telah menaburkan benih-benih ajaran Kristen di tengah-tengah Suku akha.

Desa-desa Kristen yang terpisah mulai bermunculan didukung oleh dana misionaris menjadi keyakinan rohani yang menawarkan pandangan dunia yang berbeda.

Disini salib dan simbol-simbol sakral berdiri bersandingan dengan Totem serta artefak tradisional suku akha.

Meskipun banyak di antara suku akha yang dianggap telah berpindah agama oleh para misionaris tetapi kenyataannya hal ini justru lebih kompleks.

Hampir 100% dari suku akha mempraktikkan campuran agama Kristen serta kepercayaan tradisional akha. Sebuah tapestri kepercayaan yang kaya, dimana doa dan mantra nyanyian gereja dan tarian ritual Alkitab dan cerita leluhur semuanya berpadu menjadi satu Harmoni yang begitu baru.*

Tags : #suku akha
Kategori :

Terkait

Sabtu 18 May 2024 - 10:08 WIB

Mengenal Suku Akha Dan Kebiasaan Mereka