“Pengangguran Lulusan Muda Naik Drastis: Mengapa Pria Paling Terdampak Tahun Ini?”

Minggu 20 Jul 2025 - 14:00 WIB
Reporter : Fahran
Editor : Ahmad Kartubi

  -Radarmukomukobacakoran.com - Angka pengangguran di kalangan lulusan muda kembali menjadi sorotan di pertengahan 2025. Data terbaru dari sejumlah lembaga ketenagakerjaan menunjukkan lonjakan signifikan dalam jumlah lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan yang belum terserap ke dunia kerja, terutama pada kelompok pria. Fenomena ini menjadi perhatian serius karena menyiratkan perubahan struktural yang tak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada keseimbangan ekonomi nasional.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, berbagai job fair yang digelar menunjukkan antusiasme tinggi dari pelamar muda, namun daya serap industri masih jauh dari ideal. Dari sisi statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan 17% angka pengangguran usia 21–28 tahun pada semester pertama 2025, dan menariknya, 61% di antaranya adalah laki-laki. Tren ini cukup kontras dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika distribusi pengangguran antara laki-laki dan perempuan relatif seimbang.

Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Banyak pakar menyoroti perubahan arah industri yang kini lebih mengutamakan soft skill, kreativitas, serta kemampuan adaptasi dalam ekosistem kerja digital dan otomatis. Profesi di bidang desain, konten, pemasaran digital, dan kesehatan mental kini lebih banyak diminati pasar — sektor-sektor yang justru lebih cepat berkembang di kalangan lulusan perempuan. Sementara itu, banyak pria masih terjebak pada ekspektasi pekerjaan konvensional atau berbasis kekuatan fisik yang perlahan tergeser oleh teknologi.

Di sisi lain, pandemi beberapa tahun lalu juga menciptakan ketimpangan keterampilan. Banyak lulusan pria dari sekolah teknik dan kejuruan mengaku tidak mendapatkan pelatihan cukup untuk bersaing di sektor berbasis teknologi digital atau sistem kerja fleksibel seperti remote dan freelance. Sementara program-program pelatihan kerja pasca-pandemi justru lebih banyak diikuti oleh perempuan yang dianggap lebih terbuka pada format pembelajaran baru.

BACA JUGA:Tantangan dan Peluang: Industri Motor Listrik di Indonesia Menuju Era Baru

Situasi ini diperparah oleh tekanan sosial dan budaya yang masih membebankan peran pencari nafkah utama kepada laki-laki. Banyak dari mereka mengalami tekanan psikologis akibat status pengangguran, tetapi merasa malu untuk mengikuti pelatihan ulang atau memasuki sektor kerja informal seperti UMKM digital, pengiriman daring, atau kerja lepas berbasis proyek. Akibatnya, stagnasi ini memperlebar kesenjangan gender dalam partisipasi tenaga kerja secara keseluruhan.

Pemerintah merespons dengan merancang kebijakan intervensi yang lebih spesifik berbasis gender. Kementerian Ketenagakerjaan telah meluncurkan program “Reskilling Pria Muda 2025” yang menargetkan lulusan laki-laki di bidang teknik, transportasi, dan manufaktur untuk mengikuti pelatihan konversi ke sektor hijau dan digital. Namun, program ini masih dalam tahap uji coba terbatas di tiga provinsi dan belum mampu menekan tren nasional secara signifikan.

Pakar sosiologi dari UI, Dr. Restu Mahesa, menyebut bahwa penanganan pengangguran tidak cukup hanya dengan pelatihan teknis. “Kita juga butuh pendekatan psikososial yang mendorong kaum pria muda untuk lebih terbuka pada perubahan identitas kerja. Dunia kerja 2025 bukan lagi soal kekuatan fisik, tapi kecakapan sosial, digital, dan emosional,” ujarnya.

Beberapa komunitas independen mulai mengambil inisiatif. Platform seperti “Digital Brother ID” dan “KerjaLagi Bro” muncul sebagai ruang aman bagi pria muda untuk belajar, saling berbagi pengalaman, dan mengakses peluang kerja nonkonvensional. Bahkan beberapa perusahaan teknologi mulai memberikan beasiswa pelatihan eksklusif bagi pencari kerja pria dari latar belakang kejuruan yang ingin bermigrasi ke bidang pemrograman atau UI/UX design.

Namun, tantangan ke depan masih besar. Jika ketimpangan ini tidak segera diatasi, Indonesia bisa menghadapi fenomena “generasi laki-laki hilang dari pasar kerja” — kelompok usia produktif yang tidak aktif secara ekonomi, tapi juga tidak mengikuti pelatihan atau pendidikan lanjutan. Ini berpotensi memperbesar beban sosial negara, baik dari sisi bantuan sosial maupun dampak sosial jangka panjang seperti meningkatnya masalah kesehatan mental, konflik keluarga, hingga radikalisasi ekonomi.

Dalam jangka panjang, para perumus kebijakan dan pelaku industri dituntut untuk merancang transformasi ekonomi yang lebih inklusif. Dunia kerja tidak hanya perlu disesuaikan dengan teknologi, tetapi juga dengan perubahan peran sosial berdasarkan gender. Jika dikelola dengan baik, tantangan ini bisa menjadi momentum untuk menciptakan ekosistem kerja yang benar-benar setara, adaptif, dan berkelanjutan bagi seluruh generasi muda Indonesia.

Referensi:

    Badan Pusat Statistik (BPS), 2025. Laporan Ketenagakerjaan Nasional Semester I.

    Kementerian Ketenagakerjaan RI. (2025). Program Reskilling Berbasis Gender untuk Pria Muda Indonesia.

    Restu Mahesa (2025). Tantangan Sosial Generasi Muda Pria dalam Dunia Kerja Baru, Jurnal Sosiologi Indonesia.

Kategori :