Tibet: Negara Otonimi China yang Indah Dari Luar, Tapi Mengenaskan di Dalam

Tibet Negara Otonimi China yang Indah Dari Luar, Tapi Mengenaskan di Dalam --screnshoot dari web

KORANRM.ID - Dibalik keindahan Tibet yang wilayahnya terletak di ketinggian rata-rata 4900 meter di atas permukaan laut serta pemandangan gunung Everest yang sangat ikoni, ternyata di dalamnya terdapat kompleksitas politik dan sosial yang menantang sejak lama.

Tibet telah menjadi pusat perhatian dunia, terutama karena memiliki sejarah yang kaya agama Buddha yang kuat dan konflik politik yang berlarut-larut. Dilansir dari Channel youtube Doczon. 

BACA JUGA:5 Surga Tersembunyi di Kediri Petualangan Menjelajahi Pesona Kota Tahu

BACA JUGA:Konsep Kota 15 Menit Apakah Masa Depan Urban Lebih Ramah Pejalan Kaki

Disatu sisi, sebagian besar masyarakat Tibet terutama yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan berharap untuk mendapatkan kemerdekaan Tibet atau setidaknya otonomi agama dan budaya yang lebih besar.

Di bawah kendali pemerintah China, mereka ingin mempertahankan dan melestarikan identitas budaya dan agama Budha. Tibet yang khas serta menjaga hak keberagaman mereka.

Sementara di sisi lain, pemerintah Cina memiliki kepentingan utama untuk menjaga integritas wilayah Cina agar tetap utuh dengan mencegah pemisahan wilayah-wilayah seperti Tibet.

Mereka berpandangan bahwa pemberian kemerdekaan atau otonomi yang lebih besar kepada Tibet dapat membuka pintu bagi pecahnya wilayah lain di kawasan Cina.

Disamping itu pemerintah Cina juga ingin mempromosikan stabilitas politik dan pengembangan ekonomi di Tibet yang dianggap penting bagi pertumbuhan ekonomi negeri Cina secara keseluruhan. Tahun 1950 adalah awal dari konflik politik yang berlarut-larut di wilayah Tibet, China di bawah kendali Partai Komunis Cina yang dipimpin oleh mojtung menginvasi Tibet yang pada mulanya merupakan negara otonom yang independen.

BACA JUGA:Kota Terapung Solusi Masa Depan untuk Mengatasi Kenaikan Permukaan Laut

Selama periode ini pemberontakan yang signifikan terjadi karena pasukan Cina memasuki wilayah Tibet dan memaksakan kendali militernya 

Peristiwa ini menjadi titik awal dari ketegangan antara otoritas Cina dan pemerintah Tibet yang dipimpin oleh Dalai Lama ke-17.

Dalai Lama adalah gelar yang diberikan kepada pimpinan spiritual tertinggi dalam agama Buddha Tibet dan dianggap sebagai inkarnasi dari body satwa. Hingga akhirnya pada tahun 1951 Tibet dan Cina menyepakati perjanjian 17 poin yang secara resmi mengakhiri otonomi Tibet dan mengakui kedaulatan Cina atas wilayah tersebut. Ketegangan antara Cina dan Tibet mencapai puncaknya antara tahun 1987 hingga tahun 1989 ini adalah periode di mana tuntutan untuk kemerdekaan dan otonomi Tibet semakin terdengar keras dengan suara lantang. 

BACA JUGA:Inovasi Pertanian Vertikal Masa Depan Ketahanan Pangan di Kota Besar

BACA JUGA:Los Angeles Kota Terbesar Setelah New York Kini Menjadi Pemandangan Seram

Masyarakat menyampaikan keinginannya untuk lepas sepenuhnya dari dominasi Cina.

Hal ini kemudian memunculkan Demonstrasi besar-besaran yang menyebabkan ketegangan politik antara masyarakat Tibet dan otoritas Cina terus berlanjut selama beberapa tahun. Puncaknya adalah peristiwa kerusuhan di lasha pada tahun 1989 dimana tindakan keras pemerintah China dalam menangani protes tersebut menimbulkan kritik internasional dan mendapat perhatian dunia. 

Terjadi tindakan kekerasan yang melibatkan penggunaan senjata dan kekerasan fisik terhadap demonstran dan warga sipil. Gambar-gambar dan laporan tentang tindakan keras tersebut mengejutkan banyak pihak dari seluruh dunia.

Selain itu, selama kerusuhan di lasha ini Pemerintah Cina membatasi akses media asing di wilayah Tibet sehingga Laporan mengenai kejadian di dalamnya tidak mendapat banyak sorotan.

Saat itu seluruh rangkaian pertentangan antara pihak masyarakat Tibet dan otoritas Cina menjadi sangat buram. Akibatnya ketidakjelasan informasi dan berita yang dibatasi oleh Cina tersebut menimbulkan kekhawatiran internasional.

Pada saat itu banyak negara di seluruh dunia merespon keras terhadap tindakan pemerintah China terhadap Tibet. Mereka mengeluarkan pernyataan mengutuk kekerasan dan menyerukan dialog damai antara pemerintah China dan masyarakat Tibet. Beberapa negara juga mengadopsi tindakan diplomatik termasuk sanksi ekonomi terhadap Cina.

Organisasi hak asasi manusia seperti amnesti internasional mengarvokasi demi hak-hak masyarakat Tibet dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama peristiwa tersebut.

Kendati demikian semua itu bukanlah akhir dari ketegangan, sebab hingga saat ini ketegangan dan konflik politik di Tibet belum mendapatkan penyelesaian yang menyeluruh.

Kendati telah ada percobaan dialog dan negosiasi antara pemerintah Cina dan perwakilan masyarakat Tibet nyatanya masih belum ada kesepakatan yang memuaskan bagi semua pihak.

Beberapa kali terutama pada tahun 2002 dan tahun 2010 pemerintah China dan perwakilan Dalai Lama terlibat dalam dialog, tetapi upaya-upaya tersebut belum mencapai titik penyelesaian yang definitif.

Isu-isu utama dalam konflik ini seperti status politik Tibet dan tingkat otonomi budaya tetap menjadi sumber ketegangan antara kedua belah pihak. Saat menjelajah Tibet wisatawan seringkali mendapatkan pengalaman yang mendalam dan menginspirasi. 

Meskipun mereka juga kadang Mengingat bahwa kehidupan sehari-hari di Tibet kondisi politik dan sosialnya tentu sangat berbeda dengan apa yang mereka temui selama kunjungan wisata. 

Wilayah tinggi Tibet dengan ketinggian rata-rata yang mencapai 4900 meter di atas permukaan laut tidak hanya menjadi saksi bisu bagi keindahan alam yang menakjubkan tetapi juga menyimpan keheningan sejarah konflik politik yang panjang serta Komplek.

Puncak-puncak Pegunungan Himalaya yang tampak megah termasuk Gunung Everest yang menjulang tinggi turut menyaksikan penderitaan dan perjuangan masyarakat Tibet yang gigih dalam mengejar Hak otonomi dan pengakuan budaya mereka.

Tag
Share