Mungkinkah China dan Jepang Berperang

Mungkinkah China dan Jepang Berperang.-Dedi Sumanto-Sceenshot

koranrm.id - Dari dulu hingga sekarang, China dan Jepang selalu bersaing dan bersitegang, baik dalam pertahanan, ekonomi, hingga geopolitik. Mungkinkah kedua negara ini kembali berperang? Pemerintah baru Jepang tampaknya berniat memulai konflik besar di Indo Pasifik bersama dengan sekutu Amerika. Sebenarnya Amerika Serikat (AS) setelah kalah dalam Perang Global Melawan Terorisme, dan hampir kalah perang proksi yang diprovokasinya dengan Rusia. Republik Rakyat China adalah negara musuh. Namun, cara untuk menantang dan mengalahkan China di panggung global bukanlah melalui ranah militer. Hal ini berada dalam ranah geoekonomi. AS dan sekutu regionalnya harus menggunakan instrumen ekonomi mereka yang mumpuni, untuk menyusun strategi kompetitif seperti memanfaatkan perdagangan, investasi, dan aktivitas keuangan lainnya. Hal tersebut untuk menciptakan kondisi positif bagi tujuan geopolitik mereka secara keseluruhan.

Barat telah meninggalkan statecraft ekonomi demi kekuatan. Sebagaimana yang akhirnya dilakukan Uni Soviet. Amerika Serikat akan kalah dalam pertempuran semacam itu melawan China, sebagaimana kekalahannya dari Rusia di Ukraina. Andaikan Jepang dan China Berperang, Siapa yang Menang. Taiwan dijadikan rantai pulau pertama. Kementerian Pertahanan Jepang mengonfirmasi laporan terbaru yang mengklaim Tokyo bermaksud untuk mengerahkan unit rudal darat ke udara jarak menengah di Pulau Yonaguni, yang terletak sekitar 68 mil dari pantai Taiwan. "Hal ini diasumsikan (dan kemungkinan besar benar), jika China menyerang Taiwan, tujuan akhir mereka adalah menggunakan Taiwan sebagai tempat di mana mereka pada akhirnya dapat mencekik Jepang sepenuhnya, dan menegaskan dominasi penuh atas apa yang dikenal sebagai Rantai Pulau Pertama," ungkap Brandon J. Weichert, analis geopolitik Asia Pasifik, dilansir The National Interest dikutip Sindownews.

Jepang Didukung Penuh AS. Meskipun demikian, Beijing memandangnya sebagai tindakan provokatif dan bagian dari gerakan yang lebih besar oleh Amerika dan sekutu regional mereka, untuk semakin menekan Beijing di saat ekonomi China sedang lesu dan sistem politiknya mungkin sedang bergejolak. Pandangan Beijing kemungkinan besar akurat dalam hal ini terutama mengingat betapa buruknya kondisi Barat setelah kalah dalam Perang Melawan Teror Global, diusir dari Timur Tengah (sementara dipaksa bersikap lunak terhadap kelompok Islamis yang menyerang mereka beberapa waktu lalu dan pada dasarnya kehilangan Ukraina. "Amerika dan proksi-proksinya membutuhkan apa yang mereka anggap sebagai kemenangan, dan pengalih perhatian yang menyenangkan dari serangkaian kegagalan strategis yang mereka alami dalam beberapa bulan terakhir," papar Weichert.

Hal ini disebabkan oleh Perjanjian Keamanan AS Jepang, yang mewajibkan Washington berkomitmen membela Tokyo selama konfrontasi militer. Sementara itu, AS mempertahankan fasilitas dan pasukan militer utama di tanah Jepang. Jika serangan China menargetkan pangkalan-pangkalan ini, kemungkinan besar AS akan terseret ke dalam konflik. Meskipun NATO tidak mempertahankan pakta pertahanan bersama Pasal 5 di kawasan Asia-Pasifik, keterlibatan langsung AS kemungkinan akan mendorong sekutu Barat untuk memberikan dukungan mereka kepada AS dan juga Jepang. Sementara itu, Rusia diperkirakan akan bergabung dengan sekutunya China dalam perang tersebut. Meskipun Rusia dan China tidak memiliki perjanjian pertahanan bersama formal ala NATO, mereka memiliki hubungan strategis yang mendalam yang akan mendorong Moskow untuk membantu membela Tiongkok. Tiran Vladimir Putin juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan serangan ke Eropa guna membagi sumber daya NATO sementara Beijing terus berjuang di garis depan utama. Dan rezim Iran dan diktator Korea Utara Kim Jong un juga dapat memberikan dukungan mereka kepada aliansi Rusia-China.

Jepang Lebih Defensif. Yonaguni adalah pulau berpenghuni utama paling barat di Jepang, dan kedekatannya dengan Taiwan kemungkinan berarti konflik apa pun atas Taiwan akan berdampak serius pada dinamika lintas Selat Taiwan. Wajar jika Jepang membingkai pengerahan pasukan ini sebagai tindakan defensif. Menurut Tokyo, mereka hanya melindungi wilayah mereka sendiri dan dengan demikian berkontribusi pada stabilitas dalam potensi kontingensi Selat Taiwan. "Namun, resiko eskalasi masih tinggi di saat tidak ada kekuatan Barat yang mampu menanggung perang besar (apalagi sebagian besar masyarakat Barat tidak menginginkan konflik besar saat ini). China juga sangat keberatan, menyebut pengerahan pasukan tersebut sangat berbahaya. Dan menuduh Jepang memprovokasi konfrontasi militer. Tentu saja, perlu dicatat bahwa China tidak ragu-ragu untuk menyerang Taiwan dan Jepang dalam beberapa bulan terakhir," papar Weichert.

Taiwan Jadi Tumbal. Langkah Jepang ini dapat memicu konflik menghancurkan. Konflik yang justru diyakini Jepang dan sekutunya sebagai penghalang. Mengenai Taiwan, masyarakat di pulau itu terpecah belah (begitu pula masyarakat Jepang sendiri). Lagipula, Taiwan sangat menyadari bahwa langkah Jepang tersebut begitu provokatif sehingga dapat mendorong China ke dalam mentalitas. Gunakan atau hilangkan. Yang memicu perang yang akan menghancurkan Taiwan yang demokratis dan merugikan Jepang secara signifikan. Meskipun Jepang kemungkinan besar percaya bahwa tindakannya dibenarkan dalam menghadapi meningkatnya agresi China di kawasan tersebut. Tokyo harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam keyakinan keliru yang telah dialami Ukraina, terutama karena merupakan sekutu dekat Amerika Serikat, ia dapat mengandalkan Amerika untuk melakukan apa pun yang diinginkannya.

Faktanya, kesalahan perhitungan semacam itu dari para pemimpin Tokyo yang bersemangat dapat menyebabkan runtuhnya tatanan regional saat ini yang sangat ingin mereka hindari. Didorong oleh AS, Jepang dalam beberapa tahun terakhir telah memulai peningkatan militer bersejarah untuk melawan kekuatan dan ketegasan Beijing yang semakin meningkat di kawasan tersebut. Taiwan mengatakan bahwa penguatan fasilitas militer Jepang di Yonaguni membantu menjaga keamanan di Selat Taiwan. Sejak itu, China mengeluarkan ancaman militer, membatalkan penerbangan antara kedua negara, dan meminta wisatawan untuk menjauh. Beijing juga menayangkan video propaganda yang diproduksi oleh Tentara Pembebasan Rakyat.

Kesalahan Kecil Bisa Memicu Perang Ashok Swain, profesor perdamaian dan keamanan di Universitas Uppsala, mengatakan ini tidak baik untuk situasi keamanan regional dan global. Meskipun Swain berpendapat perang skala penuh antara kedua negara masih kecil kemungkinannya, situasinya sangat sensitif. Dan satu langkah yang salah dapat memicu eskalasi. "Ketika terjadi eskalasi semacam ini dengan segala macam retorika politik, kedua negara berada dalam situasi saling mengancam. Saya pikir ini adalah waktu yang sangat sensitif. Pemicu yang akan dilihat oleh Beijing dan Tokyo sebagai garis merah. Sebuah insiden kecil yang tak terduga dapat memicu perang besar-besaran ketika ketegangan sedang tinggi," jelasnya.

Jenis insiden ini, termasuk bentrokan jet tempur atau tabrakan maritim yang menciptakan titik aktivitas militer. Pada saat para pemimpin politik turun tangan, situasi seperti itu mungkin sudah memicu baku tembak. Hal ini membuat de eskalasi jauh lebih sulit. Swain berkata Bisa jadi miskomunikasi besar-besaran, atau kecelakaan, seperti pilot yang lepas kendali, atau mungkin konfrontasi angkatan laut di laut. Kecelakaan ini kemungkinan besar mengakibatkan tindakan militer oleh kedua negara yang bisa jadi di luar kendali. Ia merujuk pada Insiden Jembatan Marco Polo pada tahun 1937 yang secara luas dianggap sebagai awal Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Peristiwa ini bermula dari konfrontasi tak disengaja yang melibatkan seorang tentara Jepang yang hilang. Kesalahpahaman terhadap manuver militer di lingkungan yang bertegangan tinggi dapat menyebabkan reaksi yang tidak proporsional.

Dari Retorika ke Konfilik Senjata. Dengan China dan Jepang terlibat dalam perang kata yang sengit, risiko salah penilaian akan meningkat. Profesor Swain berkata, Jika terjadi kecelakaan saat ketegangan sudah tinggi, mungkin kesalahpahaman akan meningkat. Bagi China, garis merah lainnya adalah Jepang, menempatkan senjata di sebuah pulau dekat Taiwan. Meskipun pembicaraan tentang penempatan rudal kurang lebih hanya omong kosong, Swain mengatakan, senjata di dekat atau di tanah Taiwan akan memaksa China untuk merespons secara keras dan segera dengan militer. Jepang yang benar-benar membawa rudal ke Taiwan akan sedikit lebih maju dan mengarah pada konfrontasi militer. Ini adalah garis merah bagi Beijing, dan mereka pasti akan bereaksi keras," paparnya.

Tokyo sebelumnya mengumumkan rencana untuk mengerahkan Rudal Terpandu Permukaan ke Udara Jarak Menengah Tipe 03, Yonagun milik Jepang, untuk mempertahankan pulau tersebut dari serangan rudal dan pesawat udara ke darat. Rudal-rudal ini mampu mencegat jet tempur dan rudal balistik, menurut media berita Jepang. Dan pekan lalu, Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi mengatakan negaranya terus melanjutkan rencana untuk mengerahkan rudal di Pulau Yonaguni bertujuan untuk menurunkan kemungkinan serangan bersenjata. Jelas bahwa ketegangan antara Jepang dan Tiongkok sedang meningkat, oleh karena itu Jepang secara efektif menyodok naga Tiongkok tersebut dengan mengerahkan kemampuan militernya ke garis depan.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan