Pegawai PPPK Dapat Diberhentikan Bila Melanggar Ketentuan dan Disiplin Ini

Ilustrasi--screnshoot dari web

koranrm.id - Dalam sistem birokrasi modern, posisi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sering kali dipandang sebagai jalan tengah antara status ASN (Aparatur Sipil Negara) berstatus PNS dan tenaga honorer. 

PPPK memperoleh hak yang hampir setara dengan PNS, termasuk penghasilan tetap, jaminan sosial, dan kepastian masa kerja selama perjanjian berlaku. Namun di balik jaminan itu, tersimpan pula tanggung jawab moral dan profesional yang sama beratnya: menjaga integritas, mematuhi aturan, serta menghindari pelanggaran disiplin yang dapat berujung pada pemberhentian.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) menegaskan bahwa PPPK bukan sekadar pekerja kontrak biasa, melainkan bagian dari aparatur negara yang diikat oleh etika jabatan dan kode perilaku.

 Berdasarkan  Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, pegawai dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran berat, termasuk penyalahgunaan wewenang, keterlibatan dalam tindak pidana, atau tindakan yang mencederai martabat negara.

“PPPK memiliki tanggung jawab moral yang sama dengan PNS. Mereka adalah wajah pemerintah di mata publik, sehingga perilaku mereka harus mencerminkan nilai dasar ASN: integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas,” ujar Deputi Bidang SDM Aparatur KemenPAN-RB, Alex Denni, dalam sebuah wawancara pada awal tahun ini.

Pernyataan tersebut mempertegas bahwa status kontrak tidak membuat PPPK bebas dari pengawasan moral maupun hukum. 

Mereka tetap tunduk pada sistem disiplin ASN sebagaimana diatur dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil , yang juga diberlakukan secara proporsional terhadap PPPK. 

Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dapat mengakibatkan sanksi ringan hingga berat, tergantung pada tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan.

Sanksi ringan dapat berupa teguran lisan atau tertulis apabila pegawai terlambat hadir, tidak melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, atau bersikap tidak sopan terhadap atasan. 

Namun, pelanggaran yang lebih serius seperti penyalahgunaan jabatan, perbuatan tercela, atau ketidakhadiran tanpa izin selama 10 hari kerja berturut-turut dapat berujung pada pemutusan hubungan perjanjian kerja secara tidak hormat.

Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Haryomo Dwi Putranto, pemberhentian PPPK bukan hanya soal disiplin administratif, melainkan juga upaya menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.

 “Ketika seorang PPPK melanggar aturan, itu bukan hanya kesalahan individu. Dampaknya mencoreng institusi tempat ia bekerja. Maka penegakan disiplin adalah bagian dari menjaga wibawa negara,” tegasnya dalam keterangan tertulis, September lalu.

Selain pelanggaran disiplin, PPPK juga dapat diberhentikan karena alasan lain seperti tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. 

Dalam sistem meritokrasi, setiap pegawai dituntut untuk menunjukkan hasil nyata yang terukur, bukan hanya kehadiran atau lamanya masa kerja. Evaluasi terhadap kinerja PPPK dilakukan secara berkala, dan hasilnya menjadi dasar bagi perpanjangan atau pemutusan kontrak kerja.

Bagi pemerintah daerah, penegakan aturan ini menjadi tantangan tersendiri. Di banyak kabupaten dan kota, PPPK sering kali mengisi posisi strategis di bidang pendidikan, kesehatan, maupun administrasi umum. 

Karena itu, menjaga disiplin dan etika kerja di kalangan PPPK sama pentingnya dengan meningkatkan kompetensi mereka. Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Provinsi Bengkulu, misalnya, menyebut bahwa setiap kepala perangkat daerah diminta lebih aktif melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap PPPK di bawahnya.

“Pembinaan itu kunci. Kita tidak ingin pemberhentian terjadi karena kelalaian dalam membimbing. Tapi jika sudah ada pelanggaran berat, tentu ada konsekuensinya. Semua harus tunduk pada aturan,” ujar Kepala BKD Bengkulu, Hendra Saputra.

Langkah pembinaan tersebut selaras dengan semangat reformasi birokrasi yang mengedepankan pendekatan edukatif sebelum represif. 

Pemerintah lebih mengutamakan pembinaan dan peringatan sebelum menjatuhkan sanksi tegas, kecuali dalam kasus pelanggaran berat seperti korupsi, gratifikasi, atau tindak pidana lainnya.

Namun, dalam praktiknya, banyak PPPK yang masih belum memahami secara utuh hak dan kewajiban mereka. 

Beberapa di antaranya menganggap status perjanjian kerja memberi ruang fleksibilitas yang lebih besar, padahal faktanya mereka tetap terikat oleh prinsip pelayanan publik yang ketat. Karena itu, pelatihan orientasi dan sosialisasi regulasi menjadi aspek penting dalam proses pembinaan aparatur berbasis kontrak ini.

Ketegasan pemerintah dalam mengatur disiplin PPPK menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak sekadar memperluas kesempatan kerja, tetapi juga memperkuat tata kelola sumber daya manusia aparatur. PPPK diberi ruang untuk berkontribusi, namun juga dibebani tanggung jawab yang jelas: menjaga integritas dan loyalitas terhadap negara.

Sebagaimana disampaikan Guru Besar Administrasi Publik Universitas Indonesia, Prof. Eko Prasojo, keberadaan PPPK adalah bukti bahwa birokrasi sedang bertransformasi menuju sistem yang adaptif namun tetap berkarakter.

 “Status kontrak tidak berarti bebas dari etika. Justru di sinilah diuji sejauh mana aparatur mampu menjaga profesionalisme tanpa bergantung pada status permanen,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi ASN masa depan.

Dengan demikian, menjadi PPPK bukan sekadar memperoleh pekerjaan tetap selama masa kontrak, melainkan juga sebuah amanah untuk menjaga kehormatan jabatan publik. Pelanggaran terhadap aturan bukan hanya mengancam karier individu, tetapi juga merusak sendi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pada akhirnya, keberhasilan sistem PPPK bukan diukur dari banyaknya pegawai yang direkrut, melainkan dari sejauh mana mereka mampu menunjukkan kinerja, etika, dan loyalitas yang sejalan dengan semangat pelayanan publik.

Sumber berita:

• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

• Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

• KemenPAN-RB. (2023). Panduan Etika dan Kode Perilaku ASN.

• Eko Prasojo, dkk. (2022). Reformasi Birokrasi di Indonesia: Dinamika dan Tantangan. Jurnal Administrasi Negara, Universitas Indonesia.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan