Pohon Sawit Berbuah Tak Merata Ini Loh Akar Masalah Nya
Pohon Sawit Berbuah Tak Merata Ini Loh Akar Masalah Nya--screenshot dari web.
koranrm.id - Di tengah hamparan kebun sawit yang hijau di bawah terik matahari, pemandangan pohon-pohon yang tidak berbuah serempak sering kali menjadi tanda tanya bagi para petani.
Sebagian tandan sawit tampak lebat menggantung di pelepah, sementara yang lain tampak kosong tanpa bunga maupun buah.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan musiman, melainkan cerminan dari banyak faktor yang saling berkelindan, mulai dari kondisi lingkungan hingga pengelolaan kebun.
Menurut pengamatan lapangan yang dilakukan di beberapa kebun rakyat di Kabupaten Mukomuko, ketidakteraturan produksi buah sawit kerap muncul pada tanaman berumur 5 hingga 15 tahun usia yang seharusnya produktif.
“Banyak petani melapor bahwa hasil panen tidak stabil. Dalam satu blok kebun, ada pohon yang buahnya melimpah, sementara di sisi lain nyaris tidak berbuah,” ujar Suroto, seorang penyuluh pertanian lapangan di daerah tersebut.
Salah satu penyebab utama ketidakteraturan ini adalah faktor pemupukan yang tidak seimbang. Tanaman sawit, sebagaimana tanaman tahunan lainnya, membutuhkan asupan hara dalam jumlah dan komposisi yang tepat.
Kekurangan unsur nitrogen, kalium, atau magnesium dapat menghambat pembentukan bunga betina yang berperan langsung dalam produksi buah. “Petani sering kali menebar pupuk tanpa perhitungan yang akurat, atau hanya menggunakan satu jenis pupuk karena pertimbangan biaya.
Akibatnya, nutrisi tanah tidak seimbang dan pohon kesulitan berbuah optimal,” jelas Dr. Dedi Supriyanto, peneliti kelapa sawit dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri).
Selain pemupukan, kondisi cuaca ekstrem juga memainkan peran besar. Musim kemarau panjang yang disusul hujan lebat membuat pohon sawit stres fisiologis. Proses pembentukan bunga yang semestinya terjadi secara teratur menjadi terganggu.
“Perubahan iklim membuat siklus air dan suhu tak menentu. Ini memengaruhi fase generatif sawit yang sensitif terhadap fluktuasi cuaca,” kata Dr. Dedi. Ia menambahkan bahwa fenomena bunch failure atau kegagalan pembentukan tandan kini semakin sering terjadi akibat perubahan pola iklim tropis.
Faktor lain yang sering luput dari perhatian adalah serangan hama dan penyakit. Beberapa jenis kumbang dan ulat pemakan daun bisa menurunkan kemampuan fotosintesis tanaman, sementara jamur patogen pada akar menyebabkan gangguan penyerapan unsur hara.
Bila ini dibiarkan, tanaman tampak sehat di permukaan tetapi lambat laun produktivitasnya menurun. “Kami sering menemukan akar yang busuk akibat jamur Ganoderma. Pohon yang terserang biasanya berbuah sedikit atau bahkan mandul,” ungkap Suroto.
Tak kalah penting adalah peran penyerbukan alami. Sawit bergantung pada serangga penyerbuk seperti kumbang Elaeidobius kamerunicus.
Jika populasi serangga ini menurun akibat penggunaan pestisida berlebihan atau hilangnya habitat alami di sekitar kebun, maka proses penyerbukan akan terganggu.
Akibatnya, bunga betina gagal menjadi buah. “Keseimbangan ekosistem di kebun sawit itu penting. Kalau semua serangga dianggap hama dan disemprot habis, tanaman juga yang rugi,” tegas Suroto dengan nada prihatin.
Namun, permasalahan ini tidak selalu berakar dari faktor biologis atau teknis. Dalam banyak kasus, kesalahan manajemen kebun juga turut memperburuk keadaan.
Jarak tanam yang terlalu rapat menyebabkan persaingan air dan cahaya matahari, sementara praktik pemangkasan yang tidak teratur membuat pohon sulit tumbuh seimbang.
Beberapa petani bahkan masih menunda panen hingga tandan terlalu tua, yang secara fisiologis dapat menghambat pembentukan bunga berikutnya.
Untuk mengatasi hal ini, para ahli menyarankan pendekatan terpadu antara manajemen lahan, pemupukan presisi, dan pengendalian hama berbasis ekologi. Program yang dikembangkan oleh Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) menunjukkan bahwa penerapan sistem pemupukan berbasis uji tanah dan daun mampu meningkatkan keseragaman produksi hingga 25 persen dalam dua tahun.
Di sisi lain, upaya konservasi serangga penyerbuk dan pengelolaan kebun berkelanjutan terbukti menjaga kestabilan hasil panen jangka panjang.
Langkah-langkah kecil mulai dilakukan di lapangan. Di beberapa kelompok tani di Mukomuko, petani kini mulai mempraktikkan pemupukan terukur dan menanam bunga liar di tepi kebun untuk menarik serangga penyerbuk.
Mereka juga mengurangi penggunaan pestisida kimia dan menggantinya dengan pengendalian biologis menggunakan mikroba alami. “Kami belajar bahwa alam harus dijaga keseimbangannya. Kalau kita pelihara ekosistemnya, sawit juga akan berbuah lebih baik,” tutur Junaidi, salah satu ketua kelompok tani sawit di Air Rami.
Fenomena pohon sawit berbuah tidak merata pada dasarnya menjadi cermin bahwa pertanian modern tak hanya soal hasil panen, tetapi juga tentang memahami irama alam yang bekerja di baliknya.
Ketika manusia mulai memperlakukan tanah dan tanaman dengan lebih bijak, alam akan memberi imbalan yang sepadan. Di tengah tuntutan pasar global dan tekanan produksi, pelajaran ini menjadi semakin relevan: keseimbangan adalah kunci, dan setiap tandan sawit yang tumbuh adalah bukti bahwa harmoni antara manusia dan alam masih mungkin dijaga.
Sumber berita:
• Dedi Supriyanto et al. (2022). Nutrient Management for Optimal Palm Oil Yield. Balittri Research Bulletin.
• Journal of Plantation Crops, Vol. 51 No. 3 (2023): “Influence of Climate Variability on Oil Palm Bunch Formation.”
• IOPRI Annual Report (2023). Best Practices in Sustainable Oil Palm Cultivation in Indonesia.