Kopiah Pertama Sejarah Nusantara Menjadi Identitas Muslim di Indonesia

Kopiah.-Ahmad Kartubi-Sceenshot

koranrm.id - Di antara berbagai simbol yang melekat dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kopiah menempati posisi istimewa.

Ia bukan sekadar penutup kepala, tetapi juga representasi dari kesopanan, keislaman, dan identitas kebangsaan. Dalam setiap barisan jamaah salat di surau, masjid, hingga lapangan terbuka, kopiah hadir sebagai bagian dari tradisi yang mengakar kuat di hati umat muslim.

Namun, di balik kesederhanaan bentuknya, tersimpan sejarah panjang tentang bagaimana kopiah pertama kali digunakan dalam ritual salat di Indonesia sebuah kisah lintas waktu yang melibatkan percampuran budaya, dakwah, dan simbol kebangsaan.

Sejarawan Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Ahmad Syauqi, menjelaskan bahwa penggunaan kopiah di Nusantara diperkirakan mulai dikenal sejak abad ke-15, bersamaan dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah pesisir.

“Kopiah yang kita kenal hari ini memiliki akar dari berbagai budaya. Di masa awal Islam Nusantara, bentuk penutup kepala yang digunakan masyarakat lebih menyerupai songkok, yang terinspirasi dari budaya Melayu dan pengaruh Turki Ottoman,” ujarnya dalam sebuah diskusi sejarah Islam Nusantara.

Di masa itu, para ulama dan dai yang datang dari Arab dan Gujarat membawa kebiasaan mengenakan penutup kepala sebagai bagian dari adab beribadah. Dalam ajaran Islam, menutup kepala saat salat bukan kewajiban mutlak, namun dianggap sebagai bentuk penghormatan di hadapan Tuhan.

Kebiasaan ini kemudian diserap oleh masyarakat lokal dan diadaptasi menjadi bagian dari pakaian tradisional yang lebih sesuai dengan iklim dan budaya Indonesia. Dari sinilah bentuk kopiah hitam mulai lahir, terutama di wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu.

Peneliti budaya Melayu, Prof. Tenas Effendy dalam bukunya Busana dan Identitas Melayu menyebut bahwa kata “kopiah” berasal dari istilah Arab qubbaʿah yang berarti penutup kepala berbentuk bundar.

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat lokal menyesuaikan bahan dan bentuknya agar lebih ringan dan praktis digunakan dalam kegiatan sehari-hari, termasuk dalam beribadah.

“Di Indonesia, kopiah tidak hanya digunakan untuk salat, tetapi juga menjadi lambang kesopanan dalam pertemuan sosial. Itu sebabnya, ia kemudian menjadi busana wajib dalam banyak upacara resmi,” tulisnya.

Peningkatan popularitas kopiah sebagai bagian dari ibadah juga mendapat dorongan besar dari perkembangan dakwah di masa Walisongo.

Salah satu tokoh yang dikenal memperkenalkan penggunaan kopiah dalam kegiatan keagamaan adalah Sunan Kalijaga.

Ia menggunakan pendekatan budaya dalam dakwahnya, termasuk melalui busana yang dapat diterima masyarakat Jawa kala itu. “Sunan Kalijaga mengenalkan busana yang islami tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal.

Kopiah hitam menjadi simbol keislaman yang menyatu dengan budaya Nusantara,” ujar Dr. Syauqi.

Menariknya, kopiah di Indonesia tidak sekadar menjadi atribut religius, tetapi juga berkembang menjadi simbol nasionalisme.

Pada masa pergerakan kemerdekaan, para tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir kerap mengenakan kopiah hitam dalam berbagai kesempatan resmi.

Dalam konteks ini, kopiah tidak lagi hanya mencerminkan kesalehan individu, tetapi juga semangat kebangsaan dan kemandirian.

“Bung Karno sengaja memilih kopiah hitam sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia yang berakar dari budaya Islam dan Melayu,” kata budayawan dan penulis sejarah busana nasional, M.

Hilman Fadillah. “Dalam konteks itu, kopiah menjadi simbol pemersatu: sederhana, elegan, dan tidak terikat kelas sosial. Semua orang, dari ulama hingga petani, bisa mengenakannya dengan rasa bangga.”

Di berbagai daerah, kopiah juga menunjukkan keberagaman lokal. Di Aceh dikenal meukeutop, di Minangkabau ada saluk, sementara di Jawa bentuknya lebih datar dan sederhana. Meski berbeda rupa, semua memiliki fungsi dan makna serupa: penanda kesopanan dan penghormatan dalam beribadah.

Dalam praktik salat, kopiah kemudian menjadi bagian dari kebiasaan turun-temurun. Anak laki-laki sejak kecil diajarkan mengenakan kopiah sebelum masuk ke masjid—sebuah pendidikan adab yang melampaui fungsi fisik.

Kopiah pun menyesuaikan zaman. Dari yang awalnya dibuat dari kain beludru dan dijahit manual, kini banyak diproduksi secara massal dengan bahan ringan dan desain modern.

Bahkan muncul variasi seperti kopiah nasional, kopiah batik, hingga kopiah bermotif songket khas daerah.

Namun, di balik ragam itu, makna spiritual dan budaya tetap terjaga. “Kopiah mengingatkan kita bahwa beribadah bukan hanya soal ritual, tapi juga tentang sikap hormat, kebersihan, dan ketertiban,” kata Ustaz Fakhrul Razi, pengajar fiqih di Pesantren Al-Azhar Mukomuko.

Kini, di setiap masjid di penjuru negeri, dari Sabang hingga Merauke, kopiah menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah Islam Indonesia.

Sumber berita:

• Effendy, Tenas. (2004). Busana dan Identitas Melayu. Pekanbaru: Balai Kajian Melayu.

• Syauqi, Ahmad. (2020). Sejarah Islam Nusantara dan Akulturasi Budaya. Jakarta: UIN Press.

• Hilman, M. Fadillah. (2021). “Kopiah Sebagai Identitas Nasional: Kajian Busana Politik Bung Karno.” *Jurnal Budaya dan Politik Indonesia,* Vol. 8 No. 2.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan