Orang tua wajib Tau, Mengapa Anak Berani Melawan Orang Tua
Wajib di Perhatikan Orang Tua, 5 Tips Mengatasi Anak yang Suka Marah Marah--ISTIMEWA
koranrm.id - Tidak ada luka yang lebih dalam bagi orang tua selain melihat anak yang dulu dipeluk dengan kasih kini berbalik membantah, bahkan menentang.
Fenomena anak melawan orang tua bukan sekadar cerita di rumah tangga modern, melainkan potret perubahan nilai yang kian terasa di tengah kehidupan serba cepat dan individualistis.
Di ruang antara kasih sayang dan kesalahpahaman, seringkali tumbuh jarak yang membuat anak kehilangan arah dan orang tua kehilangan kendali.
Perubahan zaman membawa pola asuh dan pola pikir yang berbeda. Dulu, suara orang tua adalah hukum tak tertulis yang nyaris tak terbantahkan.
Kini, anak-anak tumbuh di tengah arus informasi yang deras, dengan pandangan yang terbentuk dari media sosial, teman sebaya, hingga budaya global yang menjunjung kebebasan berpendapat. Perbedaan inilah yang kerap memantik gesekan di rumah.
Ahmad Sulaiman, seorang konselor keluarga di Bengkulu, menuturkan bahwa konflik antara anak dan orang tua biasanya bermula dari komunikasi yang tidak saling memahami. “Anak merasa orang tua tidak mendengar, sementara orang tua menganggap anak sudah lupa tata krama.
Padahal, keduanya sedang berusaha mencintai dengan cara yang berbeda,” ujarnya lembut. Ia menambahkan, banyak anak melawan bukan karena benci, tetapi karena ingin didengar, ingin diakui keberadaannya.
Ketika cinta tidak dipahami dengan bahasa yang sama, ia bisa tampak seperti perlawanan. Orang tua ingin melindungi, tetapi anak melihatnya sebagai pembatasan. Anak ingin mandiri, namun orang tua menilai itu sebagai pembangkangan. Di sinilah akar permasalahan tumbuh: kegagalan membangun jembatan antara generasi.
Dalam Islam, hubungan antara anak dan orang tua memiliki kedudukan yang amat tinggi. Al-Qur’an dengan tegas menempatkan berbakti kepada orang tua setelah perintah untuk menyembah Allah. Dalam Surah Luqman ayat 14, Allah berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Ayat ini bukan sekadar perintah moral, melainkan pengingat tentang perjalanan cinta seorang ibu dan ayah yang seharusnya tidak dilupakan.
Namun, Luqman yang dikenal sebagai sosok bijak juga memberi teladan kepada orang tua agar bijaksana dalam mendidik anak.
Dalam kisahnya, Luqman tidak pernah menasihati anak dengan kemarahan, melainkan dengan kelembutan dan hikmah. Ia berkata kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.* (QS. Luqman:13).
Dari kisah ini, kita belajar bahwa komunikasi yang menyejukkan dan penuh kasih adalah dasar hubungan yang harmonis.
Orang tua bukan hanya dituntut untuk ditaati, tetapi juga untuk menjadi panutan yang pantas ditaati. Anak-anak yang tumbuh dalam suasana penuh tekanan dan amarah, besar kemungkinan akan menjadikan perlawanan sebagai bentuk ekspresi diri.
Dr. Riza Karim, pakar psikologi perkembangan anak, menjelaskan bahwa pola komunikasi yang keras dan otoriter sering menimbulkan efek psikologis mendalam. “Ketika anak tidak diberikan ruang untuk bicara, mereka akan mencari ruang itu sendiri kadang dengan cara yang salah.
Melawan menjadi bentuk protes karena tidak ada lagi cara lain untuk menunjukkan pendapat,” ungkapnya. Ia menekankan pentingnya peran empati dalam pengasuhan.
Melawan bukan selalu berarti durhaka, tetapi tanda bahwa ada luka yang belum disembuhkan. Anak mungkin merasa diabaikan, ditekan, atau tidak dipercaya. Di sisi lain, orang tua merasa gagal, kehilangan wibawa, dan kecewa. Dua pihak yang seharusnya saling menguatkan justru saling menjauh.
Solusinya bukan dengan memaksa tunduk atau menuntut tanpa mendengar. Kunci utama adalah memperbaiki komunikasi. Islam menekankan pentingnya adab*baik bagi anak maupun orang tua.
Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.” (HR. Ahmad). Hadis ini menjadi penegasan bahwa penghormatan dan kasih sayang harus berjalan dua arah.
Pendidikan adab seharusnya dimulai sejak dini, bukan hanya dalam bentuk nasihat, tetapi melalui keteladanan. Anak belajar bukan dari banyaknya larangan, tetapi dari teladan yang ia lihat setiap hari. Seorang ayah yang sabar, ibu yang lembut, akan menjadi cermin bagi anak untuk meniru perilaku yang sama.
Namun, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan yang renggang. Banyak kisah keluarga yang menemukan kembali kehangatan setelah bertahun-tahun saling menjauh. Syaratnya sederhana tapi berat: keikhlasan untuk mendengar dan memaafkan.
Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.”* Merendahkan diri dalam konteks ini bisa berarti mengalah demi cinta, demi menjaga silaturahmi antara darah dan kasih yang seharusnya tidak terputus.
Hubungan anak dan orang tua bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga jalan menuju keberkahan hidup.
Melawan mungkin terjadi karena ketidaktahuan, tapi kebijaksanaan mampu meredamnya. Sebagaimana Luqman menasihati anaknya dengan kelembutan, begitu pula seharusnya orang tua menasihati tanpa amarah, dan anak mendengar tanpa rasa terpaksa.
Karena pada akhirnya, rumah bukan tempat untuk membuktikan siapa yang benar, tetapi ruang untuk belajar mencintai tanpa syarat.
Sumber beerita:
• Al-Qur’an, Surah Luqman ayat 13–14
• Hadis Riwayat Ahmad dan Muslim
• Konsultasi psikologi keluarga: Riza Karim, *Psikologi Keluarga Modern* (2020)
• Ahmad Sulaiman, Konselor Keluarga Bengkulu, wawancara pribadi, 2024