Transparansi dan Partisipasi Publik, Cegah Korupsi Revitalisasi Sekolah 2025
An-Najmi Fikri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu.-Deni Saputra-Radar Mukomuko
koranrm.id - Revitalisasi sekolah menjadi salah satu program prioritas unggulan pemerintah pada 2025. Melalui Kemdikdasmen, sebanyak 10.440 satuan pendidikan ditargetkan mendapat perbaikan sarana dan prasarana. Terutama sarana vital sekolah mulai dari ruang kelas, ruang guru, ruang administrasi, hingga perpustakaan, laboratorium, toilet, dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Program ini merupakan langkah besar untuk memperbaiki wajah pendidikan Indonesia
Alokasi dana yang digolontorkan untuk mewujudkan program ini tercapai juga tidak main-main. Pemerintah telah menganggarkan dana mencapai Rp17,1 triliun. Namun, di balik angka yang lumayan dan target yang ingin dicapai tersebut, ada satu kata kunci yang menentukan yaitu transparansi.
Berbicara transpransi tidak bisa dilepaskan dalam konteks kebijakan publik. Menurut KBBI, transparansi mengandung makna adanya keterbukaan informasi sehingga dapat diakses oleh masyarakat luas. Seiring dengan makna tersebut, Oxford English Dictionary juga mengartikan transparansi sebagai kualitas suatu tindakan yang dilakukan secara terbuka tanpa ada yang disembunyikan.
Dari Proyek ke Partisipasi
Selama ini, pembangunan sarana pendidikan kerap menjadi urusan Kementerian teknis seperti Pekerjaan Umum. Kini, anggaran revitalisasi dialihkan ke Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah agar lebih dekat dengan kebutuhan sekolah. Perubahan ini menandai pergeseran pendekatan yang biasanya dari pola “proyek pembangunan” menjadi “pola partisipasi” berbasis sekolah dan masyarakat.
Melalui metode mekanisme swasekolah, dana revitalisasi tidak lagi tersentralisasi, melainkan disalurkan langsung ke rekening sekolah. Mekanisme swasekolah ini membuka ruang kemandirian, di mana sekolah dapat mengatur kebutuhan pembangunan sesuai prioritas mereka. Tetapi, untuk menghindari praktik tertutup yang tidak ada dalam pengawasan, dibentuk Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) yang melibatkan guru, komite sekolah, serta masyarakat sekitar.
Kekhawatiran Masyarakat: Bayangan Korupsi
Indonesia hari ini sedang dilanda badai pengungkapan kasus korupsi gila-gilaan yang merugikan negara. Di masyarakat, muncul kekhawatiran bahwa dana triliunan rupiah ini bisa saja membuka celah praktik korupsi, seperti mark up biaya, proyek fiktif, atau penyalahgunaan anggaran. Kekhawatiran ini wajar, sebab pengalaman proyek-proyek besar yang buat pemerintah di masa lalu justru diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak amanah. Hal ini yang sering kali terjadi rawan penyimpangan.
Namun justru di titik inilah metode transparansi yang diterapkan pemerintah menemukan relevansinya. Dengan dana langsung masuk ke sekolah, proses pengelolaan menjadi lebih dekat dan dapat dipantau bersama. Setiap rupiah bisa dilihat penggunaannya melalui laporan terbuka, papan informasi proyek, hingga keterlibatan aktif masyarakat dalam panitia pembangunan.
Skema swakelola dengan melibatkan lapisan masyarakat adalah bentuk nyata komitmen terhadap keterbukaan program ini dapat terlaksana. Proses pembangunan tidak lagi berada di balik pintu tertutup, melainkan bisa dipantau dan diawasi langsung oleh publik jika tidak sesuai. Sehingga orang tua, tokoh masyarakat, hingga mahasiswa setempat berhak melihat bagaimana dana miliaran rupiah itu digunakan.
Lebih dari itu, sekolah juga di dampingi oleh perguruan tinggi, Dinas Pendidikan setempat, serta tim teknis dari kementerian yang turun langsung ke sekolah-sekolah. Pendampingan ini bukan sekadar formalitas, tetapi instrumen pengawasan mutu dan integritas. Dengan keterlibatan banyak pihak, peluang penyalahgunaan dana bisa ditekan seminimal mungkin.
Transparansi adalah Kuncinya
Revitalisasi sekolah bukan hanya soal gedung baru yang megah atau toilet yang bersih. Lebih jauh, tujuan utamanya adalah meningkatkan akses dan mutu layanan pendidikan. Anak-anak berhak belajar di ruang yang layak, guru berhak mengajar di lingkungan yang nyaman, dan masyarakat berhak melihat bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali dalam bentuk fasilitas pendidikan.
Jika skema transparansi ini benar-benar dijalankan, bukan tidak mungkin program revitalisasi sekolah bisa sekaligus menjadi pelajaran akuntabilitas publik. Sekolah tidak hanya membangun ruang kelas, tetapi juga membangun budaya integritas.
Rp17,1 triliun adalah angka besar. Tanpa transparansi, ia bisa menjadi bumerang dengan membuka peluang korupsi. Tetapi dengan tata kelola yang terbuka, partisipasi masyarakat, dan pendampingan teknis yang serius, angka itu bisa menjadi investasi berharga untuk generasi masa depan.
Revitalisasi sekolah 2025 bukan hanya tentang bangunan, melainkan tentang membangun budaya akuntabilitas dalam pendidikan yang sehat.
Opini: Oleh: An-Najmi Fikri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu.