BBM Subsidi di Bengkulu Kian Dibatasi, Warga Mengatur Strategi Perjalanan
Pengendara Ngeluh, Beli Solar Pasti Ngantri Berjam-Jaman--screnshoot dari web
koranrm.id - Warga dari berbagai daerah di Bengkulu harus menyusun strategi perjalanan lebih cermat, sebab aturan pembelian bahan bakar subsidi seperti Pertalite dan solar kian diperketat.
Bagi mereka yang menggantungkan hidup dari mobilitas, batasan ini bukan sekadar angka di papan pengumuman, melainkan realitas yang menentukan lancar tidaknya aktivitas sehari-hari.
Di Kabupaten Mukomuko, cerita itu nyata dirasakan Deni, seorang petugas di salah satu SPBU. Ia mengisahkan bagaimana pada hari ini saja, seorang pengendara yang membeli 40 liter di Mukomuko terpaksa melanjutkan perjalanan hingga ke Lais, Bengkulu Utara, untuk kembali mengisi tangki. Namun di sana, SPBU hanya mampu melayani 10 liter tambahan. Baru setelah jarum jam melewati tengah malam, aturan longgar dan pengisian kembali normal.
Bagi pengemudi L300 dan Fortuner diesel, pembatasan terasa makin ketat. Mereka hanya diperkenankan membeli hingga 50 liter per hari.
Angka itu terdengar besar bagi sebagian orang, namun di jalur antar-kabupaten yang jaraknya membentang ratusan kilometer, jumlah tersebut sering kali hanya cukup untuk sekali pulang-pergi.
Akibatnya, banyak sopir angkutan maupun pemilik kendaraan pribadi harus berhitung matang sebelum melajukan mesin.
Fenomena pembatasan ini tidak lahir begitu saja. Pertamina Bengkulu dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa langkah tersebut diambil untuk menjaga distribusi agar lebih merata.
Stok BBM bersubsidi kerap menipis lebih cepat dari perkiraan akibat tingginya permintaan. Bengkulu sebagai daerah lintasan dengan arus kendaraan yang padat, terutama truk dan bus antarprovinsi, sering menghadapi situasi pasokan yang serba terbatas. Dengan kuota yang ada, opsi paling realistis adalah memperketat aturan agar tidak terjadi kelangkaan lebih luas.
Namun, bagi masyarakat di lapangan, kebijakan ini melahirkan dinamika baru. Sopir angkutan barang yang biasanya terburu waktu untuk mengantar muatan harus mengatur ulang rute agar bisa mendapatkan tambahan bahan bakar.
Tidak jarang, mereka harus antre lebih lama atau bahkan menginap di daerah tertentu hanya untuk menunggu jam layanan kembali normal. Bagi pengendara pribadi, perjalanan keluarga atau urusan kerja yang sebelumnya sederhana kini diselimuti kecemasan apakah tangki akan cukup hingga tujuan.
Di sisi lain, pembatasan ini juga membuka ruang kreativitas. Beberapa warga mulai mengatur pola perjalanan malam untuk menghindari jam sibuk. Ada pula yang berusaha mencari SPBU alternatif yang relatif lebih lengang. Meski begitu, jalan keluar ini tidak selalu berhasil. Ketika informasi ketersediaan BBM menyebar dari mulut ke mulut, antrean panjang segera kembali terbentuk.
Kondisi ini menggambarkan betapa vitalnya energi dalam kehidupan masyarakat. BBM bukan sekadar komoditas, tetapi nadi yang menggerakkan perekonomian daerah. Dari pengangkutan hasil sawit hingga perjalanan pedagang kecil, semua bertumpu pada akses yang lancar terhadap bahan bakar. Ketika akses itu dibatasi, denyut kehidupan ikut tersendat.
Namun, pembatasan juga tidak lepas dari sisi positif. Ia memaksa masyarakat untuk lebih hemat dan bijak menggunakan energi. Beberapa sopir angkutan mulai menggabungkan muatan agar lebih efisien.
Sebagian pemilik kendaraan pribadi memilih beralih sementara pada moda transportasi umum untuk perjalanan jarak menengah. Di tengah keterbatasan, kesadaran baru mulai tumbuh bahwa energi subsidi sejatinya memang ditujukan bagi kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Ke depan, tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan ketersediaan pasokan.
Tanpa langkah antisipatif, potensi gesekan sosial tidak bisa dihindari, terutama jika aturan dirasa tidak adil atau tidak transparan. Komunikasi yang jelas, pengawasan ketat terhadap penyalahgunaan, serta upaya memperluas akses energi alternatif menjadi kunci.
Di jalan lintas Sumatra, cerita tentang antrean panjang, sopir yang terpaksa berhenti di tengah perjalanan, hingga warga yang menunggu pergantian hari demi tambahan BBM, hanyalah potret kecil dari persoalan besar ketahanan energi nasional.
Ia mengingatkan bahwa kebijakan energi bukan sekadar soal angka kuota, tetapi tentang bagaimana kehidupan sehari-hari orang kecil berjalan.
Seperti yang diungkapkan Deni, petugas SPBU di Mukomuko, pembatasan hari ini hanyalah satu dari sekian banyak episode yang terjadi. “Kalau pagi ada yang beli 40 liter di Mukomuko, lanjut ke Lais cuma dapat 10 liter.
Baru lewat jam dua belas malam bisa isi normal lagi,” ujarnya. Cerita sederhana itu menjelaskan dengan gamblang bagaimana aturan di atas kertas berubah menjadi kenyataan yang membentuk ritme perjalanan warga di Bengkulu.
Sumber berita:
• Wawancara dengan Deni, petugas SPBU Kabupaten Mukomuko.
• Pertamina Bengkulu, Koran Rakyat Bengkulu.