Transmigrasi Di Mukomuko Kisah Menyatunya Tanah dan Manusia
Transmigrasi--Ilustrasi
koranrm.id - Jauh sebelum jalan-jalan beraspal menghubungkan desa-desa kecil di pesisir barat Sumatra, Kabupaten Mukomuko pernah menjadi ladang harapan bagi para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara.
Tahun-tahun itu adalah era ketika pemerintah tengah giat menggerakkan program transmigrasi, sebuah kebijakan yang dirancang bukan hanya untuk mengatasi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Bali, tetapi juga untuk membangun wilayah-wilayah baru di luar pusat keramaian. Di tanah yang subur namun kala itu masih lengang.
Mukomuko, yang berada di ujung utara Provinsi Bengkulu, menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan panjang transmigrasi. Kecamatan-kecamatan seperti Pondok Suguh, Teramang Jaya, dan Air Rami tercatat sebagai lokasi awal penerimaan rombongan transmigran pada tahun-tahun sekitar 1970-an hingga 1980-an.
Mereka datang dengan wajah penuh harapan, meninggalkan kampung halaman yang padat dan lahan yang sempit, untuk menyambut janji tanah luas serta kehidupan yang lebih layak.
Perjalanan para transmigran menuju Mukomuko tidaklah mudah. Dari pulau asal mereka, sebagian besar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, mereka menyeberang laut dengan kapal besar, lalu melanjutkan perjalanan darat melewati jalan setapak yang kala itu masih dikelilingi hutan lebat.
Mereka disambut oleh petugas pemerintah daerah dan aparat transmigrasi yang sudah lebih dahulu menyiapkan lokasi. Rumah-rumah kayu sederhana dengan atap seng dibangun berderet, lahan pertanian dibuka, dan fasilitas umum seperti balai desa serta sekolah dasar mulai berdiri.
Namun kehidupan awal di tanah baru tidak langsung berjalan mulus. banyak anggota transmigrasi tidak tahan dan pulang kembali ke asalnya, alasanya klasiknya alam Mukomuko yang subur juga menyimpan tantangan besar. Lahan yang harus dibuka sering kali dipenuhi semak belukar, rawa, atau hutan yang masih perawan.
Musim hujan menghadirkan genangan air, sementara musim kemarau membuat tanah pecah dan sulit diolah. Banyak transmigran yang pada awalnya hanya mengandalkan alat-alat sederhana, cangkul dan parang, untuk mengolah tanah yang luasnya berhektar-hektar.
Meski demikian, semangat gotong royong dan keyakinan bahwa masa depan anak-anak mereka akan lebih cerah membuat mereka bertahan.
Seiring waktu, program transmigrasi di Mukomuko membentuk wajah baru bagi kecamatan-kecamatan yang menjadi lokasi tujuan.
Desa-desa transmigrasi berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Pertanian padi, jagung, dan terutama kelapa sawit menjadi tulang punggung kehidupan.
Tanah yang dahulu kosong kini ditumbuhi perkebunan luas, menciptakan lapangan kerja sekaligus mengubah pola hidup masyarakat.
Dari generasi ke generasi, anak-anak transmigran tumbuh, bersekolah, dan sebagian besar berbaur dengan masyarakat lokal, melahirkan identitas baru yang khas Mukomuko.
Kehadiran transmigran juga membawa perubahan sosial yang signifikan. Mereka memperkenalkan budaya Jawa, Bali, dan daerah asal lain ke dalam kehidupan masyarakat setempat.
Tradisi gotong royong, kesenian gamelan, hingga kuliner khas menjadi bagian dari warna baru di desa-desa Mukomuko.
Masyarakat asli Mukomuko, yang pada dasarnya memiliki tradisi kuat dalam pertanian dan adat istiadat, lambat laun menjalin hubungan yang erat dengan para pendatang.
Perkawinan antar-etnis, kerja sama ekonomi, dan kegiatan sosial menjadikan desa transmigrasi sebagai laboratorium integrasi bangsa yang hidup.
Di tengah perjalanan panjang ini, tidak sedikit kisah perjuangan dan pengorbanan yang tersimpan. Ada keluarga yang harus memulai kembali dari nol karena gagal panen atau sakit, ada pula yang berhasil meraih kesejahteraan berkat ketekunan.
Cerita-cerita itu menjadi mozaik sejarah yang tak terpisahkan dari perkembangan Mukomuko. Jika kini kita melihat kecamatan-kecamatan transmigrasi tumbuh menjadi wilayah yang ramai dengan aktivitas ekonomi, sekolah, pasar, dan jalan yang menghubungkan desa-desa, itu semua berakar dari jejak kaki pertama para transmigran puluhan tahun lalu.
Kebijakan transmigrasi di Mukomuko memang tidak semata-mata berorientasi pada pemerataan penduduk, melainkan juga pembangunan wilayah.
Pemerintah pusat kala itu ingin menjadikan daerah-daerah baru sebagai lumbung pangan dan pusat ekonomi. Mukomuko dipandang strategis, karena letaknya yang berbatasan dengan Sumatra Barat serta aksesnya menuju jalur perdagangan di pesisir barat. Potensi pertanian yang besar menjadi alasan mengapa daerah ini dipilih sebagai lokasi transmigrasi.
Keberhasilan transmigrasi di Mukomuko pada akhirnya tidak hanya diukur dari jumlah keluarga yang berhasil menetap atau luas lahan yang berhasil dibuka, tetapi juga dari dampak jangka panjangnya terhadap struktur sosial dan ekonomi.
Program ini membentuk jaringan desa yang saling terhubung, menciptakan keseimbangan baru antara penduduk asli dan pendatang.
Mukomuko, yang dulunya dikenal sebagai daerah perbatasan yang sunyi, kini menjelma sebagai salah satu kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan di Provinsi Bengkulu.
Hari ini, ketika kita menoleh ke belakang, sejarah transmigrasi di Mukomuko bukan sekadar catatan administratif atau deretan angka dalam arsip pemerintah. Ia adalah kisah manusia yang penuh dengan pengorbanan, kerja keras, dan keyakinan akan masa depan.
Ia adalah kisah tentang tanah yang menjadi saksi bisu bagaimana ribuan keluarga menanam harapan, memelihara kebersamaan, dan menumbuhkan kehidupan baru. Dari cerita inilah kita belajar bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga tentang keberanian mengambil risiko dan tekad untuk bertahan.
Sumber berita :
- Kantor Transmigrasi Provinsi Bengkulu, Arsip Program Transmigrasi di Kabupaten Mukomuko (1980 1995).
- Kantor Pertanahan Kabupaten Mukomuko, Data Perkembangan Desa Transmigrasi dan Lahan Pertanian (1990 2020).
- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Sejarah Transmigrasi di Indonesia.