Sebagian Orang Tua Memilih Sekolah Berbasis Agama Meski Biaya Mahal
Ilustrasi--ISTIMEWA
koranrm.id- Di persaingan dunia pendidikan yang kian kompetitif, ada satu fenomena yang terus tumbuh dengan kuat: pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berbasis agama, meskipun biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi dibanding sekolah umum.
Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari harapan, kecemasan, dan keyakinan mendalam yang tumbuh dalam hati para orang tua.
Di Kabupaten Mukomuko, misalnya, banyak keluarga rela mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk biaya pendidikan di madrasah atau sekolah Islam terpadu. Para orang tua menyadari, pendidikan agama bukan hanya tentang hafalan ayat atau pelajaran fikih semata, melainkan fondasi moral yang diyakini mampu membentengi anak-anak dari derasnya arus globalisasi.
Mereka yang terlibat dalam pilihan ini datang dari berbagai latar belakang. Ada petani sederhana yang menabung sedikit demi sedikit, ada pegawai negeri yang menyisihkan gaji bulanan, bahkan pedagang kecil yang rela menunda keperluan lain demi memastikan anaknya mendapat tempat di sekolah berbasis agama.
Dari sudut pandang mereka, biaya yang tinggi bukanlah penghalang utama, melainkan tantangan yang harus dilampaui demi cita-cita anak.
Seorang ayah di Desa Pondok Batu bercerita bagaimana ia dan istrinya memutuskan menyekolahkan anaknya di sebuah madrasah swasta. Setiap bulan, mereka harus membayar uang sekolah yang hampir setara dengan pengeluaran dapur.
Namun, keputusan itu diambil setelah melihat perubahan karakter anak-anak tetangga yang belajar di sekolah serupa: lebih sopan, rajin beribadah, dan memiliki kecintaan terhadap ilmu agama yang dalam. Dari sanalah keyakinan itu tumbuh, bahwa pendidikan agama adalah jalan yang mesti dipilih, meski berbiaya mahal.
Latar belakang pilihan ini semakin kuat ketika orang tua membandingkan suasana sekolah umum dengan sekolah berbasis agama. Di sekolah umum, anak-anak lebih cepat terpapar gaya hidup perkotaan: penggunaan gawai berlebihan, tontonan media sosial yang sulit dikontrol, hingga pergaulan bebas yang mulai mengusik.
Sementara di sekolah berbasis agama, mereka merasa lebih tenang karena ada sistem pembinaan karakter yang lebih ketat, guru yang berperan sebagai teladan, serta lingkungan belajar yang menanamkan nilai-nilai spiritual sejak dini.
Fenomena ini juga tak lepas dari meningkatnya kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan akhlak. Banyak orang tua menilai, anak-anak zaman sekarang dihadapkan pada tantangan moral yang lebih berat dibanding generasi sebelumnya.
Arus informasi tanpa batas, budaya instan, hingga penetrasi budaya asing membuat orang tua semakin cemas. Dari kecemasan itu lahirlah keyakinan bahwa hanya pendidikan berbasis agama yang mampu memberi benteng kokoh bagi anak-anak mereka.
Menariknya, pilihan ini tidak semata-mata diambil oleh keluarga yang mapan secara ekonomi. Justru banyak dari mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Di Mukomuko, beberapa orang tua yang berprofesi sebagai buruh tani rela menggadaikan hasil panen mereka atau mencari penghasilan tambahan demi menutupi biaya sekolah anak.
Di balik pengorbanan itu, tersimpan satu keyakinan bahwa investasi terbesar dalam hidup bukanlah rumah megah atau kendaraan, melainkan akhlak mulia dan ilmu bermanfaat yang ditanamkan pada generasi penerus.
Meski demikian, biaya pendidikan yang tinggi tetap menjadi perbincangan serius. Di sejumlah madrasah swasta atau sekolah Islam terpadu, biaya bulanan bisa mendekati biaya bulanan anak kuliahan .
Namun, hal itu tak serta-merta menyurutkan minat orang tua. Mereka melihatnya sebagai konsekuensi wajar dari fasilitas yang diberikan: pengajaran agama lebih intensif, program tahfiz Al-Qur’an, kegiatan pesantren kilat, hingga lingkungan belajar yang disiplin dan religius.
Selain itu, ada dimensi sosial yang ikut memengaruhi. Orang tua sering merasa bangga ketika anaknya bersekolah di lembaga pendidikan berbasis agama yang dikenal baik. Status sosial ini tidak jarang menjadi dorongan tambahan, seolah menjadi bukti bahwa keluarga tersebut peduli pada pendidikan moral dan spiritual.
Tak bisa dipungkiri, sekolah berbasis agama juga berhasil menghadirkan atmosfer berbeda. Seorang guru madrasah di Kecamatan Lubuk Pinang menuturkan, anak-anak tidak hanya diajarkan teori, tetapi juga dibiasakan menjalankan ibadah berjamaah, menjaga adab dalam berbicara, serta menumbuhkan rasa hormat kepada orang tua dan guru.
Nilai-nilai ini kemudian melekat dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang jarang ditemukan dalam kurikulum sekolah umum yang lebih menekankan capaian akademik.
Namun, pilihan orang tua ini juga menimbulkan tantangan baru. Tidak sedikit keluarga yang akhirnya terjerat kesulitan finansial karena biaya yang tinggi.
Ada pula anak-anak yang harus beradaptasi dengan tuntutan belajar yang lebih padat menghafal ayat, memahami kitab, sekaligus mengejar prestasi akademik. Meski begitu, sebagian besar orang tua tetap bertahan karena yakin bahwa jerih payah mereka pada akhirnya akan terbayar.
Fenomena ini juga mendapat perhatian dari pihak Kementerian Agama. Kantor Kementerian Agama Mukomuko beberapa kali menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pendidikan agama dan akademik.
Mereka mendorong agar lembaga pendidikan berbasis agama tidak hanya fokus pada hafalan, tetapi juga membuka ruang bagi perkembangan sains, teknologi, dan keterampilan hidup. Dengan begitu, anak-anak yang lahir dari sekolah berbasis agama tetap siap bersaing di era modern, tanpa kehilangan akar moral dan spiritualnya.
Di balik semua itu, ada satu benang merah yang jelas: orang tua ingin memastikan masa depan anak-anak mereka aman, baik secara akademik maupun moral.
Sekolah berbasis agama dipandang sebagai tempat yang mampu menggabungkan keduanya. Meskipun biaya mahal menjadi konsekuensi, keyakinan akan hasil yang lebih baik membuat para orang tua tidak ragu mengambil keputusan.
Fenomena ini bukan sekadar pilihan pendidikan, melainkan sebuah cerminan dari pandangan hidup masyarakat. Mereka percaya, pendidikan agama adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya memberi manfaat di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.
Dalam keyakinan itu, mereka rela berkorban, menunda kenyamanan pribadi, dan berjuang demi satu cita-cita: melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, dan beriman kuat.**
Sumber berita:
• Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mukomuko, laporan dan publikasi terkait pendidikan madrasah.
• Harian Rakyat Bengkulu, edisi khusus pendidikan daerah, 2024.
• Radar Mukomuko, liputan tentang tren orang tua memilih sekolah berbasis agama.