Rahasia Cita Rasa Pindang Palembang yang Menggoda Lidah

Rahasia Cita Rasa Pindang Palembang yang Menggoda Lidah--screenshot dari web.

Koranrm.id-Di balik aroma tajam yang mengepul dari dapur-dapur rumah tangga di Sumatra Selatan, tersimpan sebuah warisan kuliner yang tak lekang dimakan waktu: pindang Palembang. 

Hidangan ini bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari identitas kultural yang melekat kuat pada denyut kehidupan masyarakatnya. 

Setiap suapan adalah fragmen cerita tentang sungai, ikan, dan rempah yang bersatu dalam harmoni rasa. 

Di tengah ragam kuliner nusantara, pindang Palembang menempati tempat istimewa karena keunikan karakter rasanya yang menyatukan gurih, asam, dan pedas dalam satu sajian berkuah .

Di wilayah yang dialiri Sungai Musi ini, ikan bukan sekadar sumber protein, tetapi juga lambang keseharian. Tak heran jika pindang yang biasanya berbahan dasar ikan patin, baung, atau gabus begitu populer dan diwariskan turun-temurun. 

Di pasar-pasar tradisional hingga restoran mewah, aroma pindang yang khas seolah menjadi penanda bahwa Palembang tak hanya terkenal karena pempeknya.

Namun, tak semua pindang bisa langsung memikat selera. Ada rahasia di balik kelezatannya. 

Bukan semata pada kesegaran ikan, tetapi lebih pada racikan bumbu yang mesti ada dan tak boleh diganti sembarangan. Inilah inti dari keberhasilan memasak pindang Palembang yang otentik: pemilihan dan penanganan bumbu yang tepat, dalam takaran yang pas, serta teknik memasak yang menghargai waktu dan proses.

Dalam setiap kuali pindang, terdapat unsur yang menjadi jiwa hidangan ini: asam, pedas, dan harum rempah.

BACA JUGA:Program Makanan Gratis (MBG) Capai 7 Juta Penerima: Misi Sosial yang Jadi Sorotan
Rahasia Cita Rasa Pindang Palembang yang Menggoda Lidah--screenshot dari web.

Asam didapat dari buah nanas, asam kandis, atau belimbing wuluh yang dimasukkan secara hati-hati agar tidak mendominasi. 

Kombinasi ini menghasilkan sensasi segar yang seimbang dan tidak menyengat. Lalu hadir cabai rawit merah dan cabai merah besar yang diulek kasar, memberi rasa pedas sekaligus memperkaya warna kuah. 

Pedas dalam pindang bukanlah ancaman, melainkan pelengkap suasana.

Bumbu aromatik lainnya juga memainkan peran penting. Serai, lengkuas, dan daun salam ditumis terlebih dahulu untuk mengeluarkan aroma terbaiknya. 

Tak ketinggalan bawang merah dan bawang putih yang dihaluskan, menjadi fondasi rasa gurih yang mendalam. 

Tambahan tomat dan daun kemangi di akhir memasak tak hanya mempercantik tampilan, tetapi juga menambah lapisan rasa yang kompleks dan menyegarkan.

Beberapa juru masak tradisional bahkan menambahkan sedikit gula merah untuk memperhalus perpaduan rasa. 

Sementara garam dan kaldu disesuaikan dengan kebutuhan agar rasa akhir tetap harmonis. Perpaduan semua elemen ini membutuhkan pengalaman dan naluri rasa yang terasah, bukan hanya resep yang kaku.

Di dapur-dapur rumah tangga, perempuan tua menjadi penjaga warisan ini. Mereka menakar tanpa timbangan, hanya mengandalkan ingatan dan kebiasaan. 

Generasi muda yang ingin meneruskan cita rasa ini mesti belajar bukan hanya cara memasak, tapi juga cara memahami makanan sebagai bagian dari kehidupan, bukan sekadar produk konsumsi.

Meski pindang bisa dimasak di mana saja, cita rasanya akan selalu mengingatkan pada Palembang dengan kelembapan udaranya, keramahan warganya, dan arus sungainya yang tak pernah berhenti. 

Hal ini menjadi pengingat bahwa sebuah makanan bisa menjadi representasi tempat dan waktu. Bahkan, banyak perantau yang mengaku rindu kampung halaman hanya karena mencium aroma pindang di kota lain.

Pindang Palembang juga kian banyak dijumpai di luar Sumatra Selatan, dibawa oleh diaspora masyarakat Palembang yang membuka rumah makan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya. 

Namun tak semuanya mampu menghadirkan rasa yang sama. Sebab, di balik kesederhanaan tampilannya, terdapat teknik dan kearifan lokal yang sulit digantikan dengan metode instan.

Kini, dengan meningkatnya minat pada kuliner lokal, pindang Palembang mulai dilirik sebagai menu istimewa dalam festival makanan dan riset kuliner. 

Beberapa universitas seperti Universitas Sriwijaya bahkan telah melakukan penelitian terhadap kandungan gizi dan potensi ekonominya sebagai makanan khas daerah yang dapat mendukung pariwisata kuliner.

Satu hal yang pasti, agar cita rasa pindang tetap lestari, bumbu-bumbu utamanya tidak boleh dikompromikan. 

Serai, lengkuas, cabai, nanas, asam kandis, tomat, dan kemangi bukan sekadar pelengkap, tetapi inti dari pengalaman rasa itu sendiri. 

Menanggalkan salah satu dari mereka, sama halnya dengan meredupkan karakter asli pindang.

Pada akhirnya, pindang Palembang bukan hanya tentang masakan. Ia adalah cerita panjang tentang sungai, tentang tanah yang subur, tentang ibu yang memasak dengan penuh cinta, dan tentang meja makan yang selalu menjadi tempat berkumpul keluarga. 

Lewat sepiring pindang, sejarah dan kehangatan rumah dapat dikenang kembali.***

 

Sumber artikel:

• Ningsih, S., & Ervina, R. (2022). Karakteristik dan Preferensi Konsumen terhadap Pindang Ikan Patin Khas Palembang. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 10(2), 74–81.

• Rachman, A., & Yuliana, Y. (2021). Analisis Kandungan Nutrisi dan Potensi Pengembangan Pangan Lokal Berbasis Ikan Patin. Jurnal Gizi Indonesia, 9(3), 215–222.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan