Apakah Likes Masih Penting? Evolusi Cara Anak Muda Menilai Diri Sendiri

Apakah Likes Masih Penting Evolusi Cara Anak Muda Menilai Diri Sendiri--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Di era media sosial yang terus berkembang, jumlah likes pernah menjadi mata uang utama dalam menentukan popularitas dan validasi diri, khususnya di kalangan anak muda. Namun, seiring waktu dan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, muncul pertanyaan baru: apakah likes masih sepenting dulu? Kini, semakin banyak generasi muda yang mulai menggeser cara mereka menilai diri, dari kuantitas pengakuan digital ke kualitas pengalaman nyata.
Pada awal kemunculan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter (kini X), likes menjadi simbol kekuatan. Semakin banyak tanda suka, semakin tinggi perasaan diterima, diakui, bahkan dipandang sukses. Bagi banyak remaja dan dewasa muda, likes bukan hanya angka, tapi validasi sosial yang mengukur seberapa berharga dan menarik mereka di mata orang lain. Fenomena ini menimbulkan tekanan besar untuk selalu tampil sempurna, estetis, dan sesuai tren agar tetap mendapat perhatian dan pengakuan.
BACA JUGA:Koar-Koar di Medsos, Farhat Abbas Ciut Saat Denny Sumargo Datangi Rumahnya
BACA JUGA:Viral di Medsos!
Namun, seiring waktu, muncul efek samping yang cukup serius. Berbagai penelitian—termasuk dari American Psychological Association dan WHO—mengungkap bahwa ketergantungan pada validasi digital dapat memicu gangguan kecemasan, harga diri rendah, hingga depresi. Banyak anak muda yang merasa kecewa atau cemas jika unggahan mereka tidak mendapatkan likes sesuai ekspektasi. Keberadaan media sosial pun menjadi pedang bermata dua: memberi ruang berekspresi, tapi juga memperbesar ketidakpuasan terhadap diri sendiri.
Menyadari hal ini, platform digital mulai melakukan perubahan. Instagram dan Facebook misalnya, telah menguji fitur menyembunyikan jumlah likes agar pengguna lebih fokus pada konten, bukan pada pengakuan publik. TikTok, meski sangat viral, juga mulai mempromosikan konten dengan nilai positif dan edukatif, bukan hanya yang sensasional. Ini menandai adanya pergeseran besar dalam cara interaksi sosial digital berlangsung.
Di sisi lain, banyak anak muda mulai mencari bentuk validasi diri yang lebih dalam dan autentik. Gaya hidup minimalis, kesadaran akan self-worth, serta meningkatnya edukasi tentang kesehatan mental membuat generasi ini tidak lagi terpaku pada angka. Mereka mulai beralih ke nilai-nilai seperti dampak sosial, kontribusi nyata, dan kepuasan batin. Bagi banyak dari mereka, bisa berbagi cerita yang jujur, menyuarakan isu penting, atau membangun komunitas kecil yang suportif lebih berarti daripada sekadar mengejar likes viral.
BACA JUGA:Sebelum terlambat, 5 Rahasia ini jangan Diunggah Di Medsos
Fenomena ini juga tercermin dalam perubahan pola konten di media sosial. Banyak konten kreator mulai lebih fokus pada keaslian daripada kesempurnaan. Unggahan yang dulunya dipoles sedemikian rupa kini digantikan oleh cerita harian yang spontan, testimoni jujur, dan proses belajar yang tidak selalu indah. Konten “before-after”, video edukatif, dan narasi pribadi menjadi lebih banyak disukai karena memberikan koneksi emosional yang kuat dibanding sekadar tampilan visual menarik.
Lebih jauh lagi, sebagian anak muda kini mulai menyadari bahwa dunia digital hanya sebagian kecil dari kehidupan nyata. Komunitas offline, kegiatan sosial, kesehatan fisik, dan hubungan antarpribadi dianggap sebagai aspek yang lebih penting dalam membangun identitas diri yang sehat. Keberhasilan bukan lagi diukur dari popularitas daring, melainkan dari kemampuan untuk bertumbuh, menghadapi tantangan, dan menjaga keseimbangan hidup.
Meski begitu, bukan berarti likes benar-benar kehilangan makna. Di dunia profesional, misalnya, interaksi digital tetap menjadi indikator penting dalam membangun personal branding, peluang kerja, atau pertumbuhan bisnis. Namun, bedanya sekarang, likes dianggap sebagai alat, bukan tujuan. Anak muda yang bijak tahu bahwa pengakuan sesaat di dunia maya tidak sebanding dengan nilai diri yang sesungguhnya mereka miliki.
BACA JUGA:Jaga Netralitas, Camat Minta Kades, BPD, ASN Bijak Bermedsos
Pergeseran ini tentu menjadi sinyal positif. Generasi yang sebelumnya terlalu terikat pada angka mulai membebaskan diri dan memilih untuk menciptakan makna yang lebih dalam dari setiap aktivitas mereka—baik online maupun offline. Dengan dukungan edukasi dan literasi digital yang terus berkembang, diharapkan semakin banyak anak muda yang bisa menggunakan media sosial secara sehat dan berdaya.
Jadi, apakah likes masih penting? Bagi sebagian orang, mungkin masih. Tapi bagi generasi muda yang makin sadar dan reflektif, nilai diri tidak lagi diukur dari jumlah likes, melainkan dari keberanian untuk menjadi diri sendiri, memberi dampak nyata, dan hidup dengan penuh makna.
Referensi:
• American Psychological Association. (2023). Social Media and Adolescent Mental Health.
• WHO. (2022). Impact of Social Media on Youth Well-being.
• Instagram Official Blog. (2021). Why We’re Giving You the Option to Hide Like Counts.
• Kompas.id. (2024). Generasi Z dan Tren Otentisitas di Media Sosial.
• Harvard Business Review. (2023). Rethinking Metrics of Success in the Digital Age.