radarmukomukobacakoran.com-Kasus penembakan yang melibatkan AKP Dadang Iskandar, yang terjadi di Solok, telah menjadi sorotan besar di Indonesia. Kejadian ini bukan hanya disebabkan oleh tragedi penembakan Kasat Reskrim AKP Ryanto Ulil Anshari, tetapi juga oleh sikap AKP Dadang yang terlihat santai merokok saat diperiksa, sebuah momen yang memicu protes dari banyak pihak.
Pada 12 November 2024, insiden penembakan terjadi di Solok Selatan, yang melibatkan dua anggota polisi: AKP Dadang Iskandar, yang bertugas sebagai Kabag Ops, dan AKP Ryanto Ulil Anshari, Kasat Reskrim Solok. Insiden ini bermula dari sebuah perselisihan yang dilaporkan terkait dengan masalah tambang ilegal di wilayah tersebut. AKP Dadang, yang diduga terlibat dalam perselisihan tersebut, menembak rekan kerjanya, Ryanto, dalam sebuah eskalasi yang berakhir dengan kematian. Peristiwa ini langsung menarik perhatian publik, bukan hanya karena melibatkan aparat kepolisian, tetapi juga karena latar belakang kasus yang rumit.
BACA JUGA:Reza Artamevia Terseret Kasus Berlian Palsu, Ini Penjelasan Setelah Datangi Mabes Polri
BACA JUGA:Mira Hayati, Dari Kemewahan ke Jerat Kasus Skincare Berbahaya
BACA JUGA:Azmi Minta Sanksi Disiplin untuk Jaksa Kasus Guru Supriyani, Ada Indikasi Permainan?
Penyebab pasti dari insiden ini masih dalam penyelidikan, namun banyak laporan yang menyebutkan bahwa perbedaan pendapat mengenai masalah tambang ilegal yang berlangsung di Solok Selatan merupakan salah satu faktor pemicu ketegangan. Ketegangan internal di antara aparat kepolisian ini menjadi semakin memanas seiring dengan dugaan adanya pengaruh eksternal yang menguatkan perselisihan ini.
Menurut informasi yang diperoleh, baik AKP Dadang maupun AKP Ryanto terlibat dalam operasi yang menyelidiki praktek tambang ilegal di wilayah tersebut. Ada indikasi bahwa perselisihan mengenai penanganan kasus tersebut, serta sikap masing-masing dalam menanggapi pengaruh-pengaruh eksternal yang terlibat, berujung pada pertikaian. Ketika ketegangan meningkat, peristiwa penembakan pun terjadi.
Penembakan ini terjadi pada 12 November 2024, dan langsung disusul dengan penyelidikan internal dari pihak kepolisian. Setelah kejadian tersebut, AKP Dadang langsung diperiksa oleh pihak yang berwenang. Namun, yang mengejutkan publik adalah sikapnya saat diperiksa: ia terlihat santai sambil merokok. Kejadian ini segera menyebar luas dan menjadi viral di media sosial, menambah kontroversi terhadap insiden yang sudah menghebohkan ini. Dalam situasi yang begitu serius, tampaknya Dadang tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, yang mengundang berbagai kecaman dari masyarakat, terutama mereka yang mendukung penegakan hukum yang lebih tegas dalam tubuh kepolisian.
Pihak berwajib telah memulai penyelidikan lebih lanjut terkait insiden ini. Hingga kini, proses hukum terhadap AKP Dadang masih berjalan, dengan pihak kepolisian menunggu hasil autopsi dan pemeriksaan saksi-saksi lain. Banyak pihak berharap agar tindakan tegas diambil terhadap pelaku jika terbukti bersalah, baik dalam hal penembakan maupun sikap tidak profesional yang ditunjukkan selama pemeriksaan.
Reaksi publik terhadap kejadian ini sangat beragam. Banyak pihak, terutama dari kalangan masyarakat yang menuntut transparansi dan profesionalisme dalam penegakan hukum, merasa terkejut dengan sikap santai yang diperlihatkan oleh AKP Dadang saat diperiksa. Dalam pandangan mereka, seorang aparat kepolisian seharusnya lebih menunjukkan rasa tanggung jawab dan rasa bersalah setelah terlibat dalam insiden tragis yang menewaskan rekan sesama aparat kepolisian.
BACA JUGA: Kemendagri Selidiki Dugaan Tekanan dalam Kasus Somasi Guru Honorer di Konawe Selatan
BACA JUGA:Demi Keadilan Guru, Komisi III DPR dan PGRI Siapkan Langkah Penting Hindari Kasus Serupa Supriyani
Pihak kepolisian pun tidak tinggal diam. Polri segera merespons kejadian ini dengan menggelar pemeriksaan internal terhadap AKP Dadang dan memastikan bahwa seluruh proses hukum berjalan dengan transparan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turut memberikan pernyataan bahwa Polri tidak akan menoleransi tindakan yang mencoreng citra institusi. Beliau menegaskan bahwa jika terbukti ada pelanggaran kode etik atau tindak pidana, sanksi tegas akan diberikan.
Di sisi lain, beberapa pihak dari kalangan pengamat kepolisian menilai bahwa kejadian ini menunjukkan perlunya reformasi internal yang lebih dalam di tubuh Polri. Pasalnya, insiden ini bukan hanya menyangkut tindakan kriminal, tetapi juga menyoroti kurangnya pengawasan dalam menangani perselisihan di antara petugas kepolisian.
Insiden ini menjadi perhatian utama karena melibatkan anggota kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung hukum bagi masyarakat. Ketika seorang aparat kepolisian terlibat dalam penembakan, apalagi yang menyebabkan kematian, hal ini tentu sangat mengganggu citra kepolisian di mata publik. Ditambah lagi dengan sikap santai yang ditunjukkan oleh AKP Dadang selama diperiksa, publik merasa bahwa kepolisian tidak cukup serius dalam menangani masalah internalnya sendiri.
Dampaknya terhadap Polri sangat signifikan. Selain memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat, insiden ini juga memicu diskusi yang lebih luas mengenai profesionalisme di tubuh Polri. Masyarakat kini semakin menuntut agar setiap aparat kepolisian lebih bertanggung jawab atas tindakan mereka, terlebih dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan atau tindak kriminal. Kasus ini menjadi sorotan penting dalam upaya mewujudkan reformasi di tubuh kepolisian, agar ke depan tidak terjadi lagi insiden serupa yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.
Selain itu, insiden ini turut mengangkat kembali masalah pengawasan terhadap internal kepolisian. Bagaimana pihak kepolisian menangani konflik antar anggotanya, serta bagaimana mekanisme pemeriksaan dan penegakan disiplin, menjadi isu yang semakin relevan. Banyak pihak mendesak agar Polri memperketat pengawasan dan membuat sistem yang lebih transparan dalam menangani kasus-kasus internal semacam ini.
Insiden penembakan yang melibatkan AKP Dadang Iskandar ini memunculkan banyak pertanyaan tentang profesionalisme dan pengawasan internal di tubuh Polri. Tidak hanya karena dampak tragis dari penembakan yang menewaskan rekan satu profesinya, tetapi juga karena reaksi tidak profesional yang ditunjukkan selama pemeriksaan. Kasus ini mempertegas pentingnya reformasi dalam kepolisian, terutama dalam menangani konflik internal dan pengawasan terhadap anggotanya. Diharapkan, dengan penanganan yang transparan dan tegas, insiden seperti ini tidak terulang di masa depan, dan citra Polri dapat pulih kembali.
BACA JUGA:Menguak Sosok di Balik Uang Damai Rp 50 Juta dalam Kasus Guru Honorer Supriyani
BACA JUGA:Kisah Pilu Pratiwi Novianthy, Perjuangan Mencari Keadilan di Tengah Pusaran Kasus Agus
Referensi:
1. Siregar, H. (2024). Pengawasan dan Profesionalisme di Tubuh Polri: Tantangan dan Solusinya. Jurnal Kepolisian Indonesia.
2. Abdurrahman, M. (2024). Reformasi Kepolisian: Perspektif dan Implementasi dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Pustaka Hukum.
3. Prasetyo, A. (2023). Penegakan Hukum dalam Kasus Internal Kepolisian: Studi Kasus Penembakan di Solok. Indonesian Law Review, 21(3), 34-47.
4. Hartanto, T. (2023). Konflik Internal dan Pengaruhnya terhadap Citra Kepolisian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kategori :